Manhaj Thabathaba'i Dalam Kitab Tafsir Al-Mizan

 

بسم الله الرحمن الرحيم

 


BAB I

PENDAHULUAN

 

A.  LATAR BELAKANG

Al-Qur'an adalah Kitab Suci yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad, yang dinukil secara mutawatir kepada kita, yang isinya memuat petunjuk bagi kebahagiaan kepada orang yang percaya kepadanya. Al-Qur'an, sebuah kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci juga diturunkan dari sisi Allah Yang Maha Bijaksana Lagi Maha Tahu. Sekalipun turun di tengah bangsa Arab dan dengan bahasa Arab, tetapi misinya tertuju kepada seluruh umat manusia, tidak berbeda antara bangsa Arab dengan bangsa non Arab, atau satu umat atas umat lainnya.

Keberadaan al-Qur'an di tengah-tengah umat Islam karena berfungsi sebagai hudan (petunjuk), furqan (pembeda), sehingga menjadi tolok ukur dan pembeda antara kebenaran dan kebatilan, ditambah keinginan untuk memahami petunjuk yang terdapat didalamnya telah melahirkan beberapa metode untuk memahami al-Qur'an. Oleh karena itu, bermunculanlah karya-karya tafsir yang beraneka ragam yang kesemuanya berkeinginan untuk memahami apa yang terdapat didalam al-Qur'an agar dapat membimbing dan menjawab permasalahan-permasalahan umat manusia dimuka bumi ini.

Salah satu karya tafsir yang fenomenal adalah Tafsir al-Mizan karya Thabathaba'i. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan di bahas mengenai biografi Thabathaba'i, profil dan manhaj penafsiran Tafsir al-Mizan, serta kelebihan dan kekurangan Tafsir al-Mizan, sehingga nantinya dapat bermanfaat bagi para pembaca.

 

B.  RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang di atas, maka kajian dalam makalah ini akan difokuskan pada beberapa rumusan masalah sebagai berikut:

a._Bagaimana biografi Thabathaba'i?

b._Bagaimana profil dan manhaj penafsiran Tafsir al-Mizan?

c._Apa kelebihan dan kekurangan Tafsir al-Mizan?

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.  BIOGRAFI THABATHABA'I

1.  Riwayat Hidup Thabathaba'i

Thabathaba'i bernama lengkap Sayyid Muhammmad Husain bin al-Sayyid Muhammad Husain bin al-Mirza 'Ali Ashghar Syaikh al-Islam al-Thabathaba'i al-Tabrizi al-Qadhi. Nama Thabathaba'i adalah sebuah nama yang dinisbatkan kepada salah satu kakeknya, yakni Ibrahim Thabathaba'i bin Isma'il al-Dibaj. Ia dilahirkan di kota Tabriz, pada 29 Dzulhijjah 1321 H / 1892 M. Ia lahir dan tumbuh besar dalam keluarga ulama terkemuka dan terkenal akan keutamaan dan pengetahuannya terhadap agama. Nasab-nya bersambung hingga Nabi Muhammad, dan termasuk dari keturunan yang keempat belas. Semua kakek-kakeknya adalah ulama-ulama terkemuka dan terkenal di kota Tabriz.1

Thabathaba'i tumbuh berkembang dalam kehidupan yang dipenuhi dengan tradisi keilmuan. Sistem pendidikan yang diperolehnya sedari kecil adalah sistem pendidikan khusus yang dikenal dengan sebutan sistem pendidikan Hauzah. Ia begitu aktif mengikuti kajian-kajian yang diadakan di masjid-masjid.2

Ia telah menekuni bahasa Parsi, bahasa Arab, tata bahasa, sastra dan berbagai ilmu sejak masa kecilnya. Thabathaba'i lebih cenderung tertarik pada pengetahuan aqliyah. Ia juga mempelajari ilmu matematika tradisional, filsafat Islam tradisional, ilmu gramatika dan lain-lain. Disamping mengajarkan ilmu-ilmu tersebut ia juga mengajarkan kepada murid-murid tertentunya tentang ilmu ma'rifat dan seluk-beluk perbandingannya.

Ibunya meninggal ketika ia masih berumur lima tahun, empat tahun berselang kemudian ayahnya meninggal. Sejak itu, untuk melangsungkan kehidupan sehari-hari, seorang wali (pengurus harta peninggalan orang tua) menyerahkan Thabathaba'i dan adik putrinya kepada seorang pelayan laki-laki dan seorang pelayan perempuan.3

2.  Perjalanan Intelektual Thabathaba'i

Perjalanan panjang Thabathaba'i dalam mencari intelektualitasnya dimulai di kota kelahirannya, Tabriz. Kemudian pada tahun 1903 M, ia pindah ke kota Najf. Di kota Najf, ia sempat bermukim selama sekitar sepuluh tahun lamanya. Selama rentang waktu sepuluh tahun tersebut, ia sudah mendapatkan berbagai disiplin ilmu keislaman, hingga ia meraih predikat mujtahid yang layak untuk melakukan ijtihad. Kemudian setelah bermukim di Najf, ia kembali ke tanah kelahirannya.4

Selang beberapa tahun kemudian, ia kembali melakukan pengembaran intelektualnya ke daerah Qum dan menetap di sana. Tidak lama kemudian, namanya semakin dikenal hingga di luar Iran, lebih-lebih ketenarannya dalam bidang ilmu Tafsirdan Filsafat.

Ali al-Awsy mengomentari sistem pendidikan yang ditempuh oleh Tabhatabha'i adalah sistem pendidikan yang ideal. Sistem pendidikan yang ditempuh Tabhatabha'i melalui tiga tahapan, yakni sebagai berikut:

1._Pendidikan dasar atau awal (Dirasah al-Muqaddimah). Pada tingkat dasar ini, ia mengenyam pelajaran-pelajaran seperti MantiqNahwuSharfBalaghahArudhFiqhdan Ushul Fiqh dasar.

2._Pendidikan menengah (Dirasah al-Suthuh). Pada tingkat ini, ia menikmati pelajaran kajian kitab-kitab FiqhUshul Fiqh, dan Filsafat.

3._Pendidikan luar atau pendidikan tinggi (Dirasah al-'Ulya). Sebuah tingkat pendidikan yang mengedapankan analisa dari seorang pelajar. Pada tingkat ini para pelajar disuguhi beberapa pendapat ulama dalam berbagai disiplin, kemudian menganalisa berbagai pendapat dan mentarjihnya.5

Mengenai kemampuan Thabathaba'i dalam bidang Fiqh dan Ushul Fiqh ini, Sayyid Husain Nasr memberikan penilaian, kalau saja ia tetap bertahan sepenuhnya dalam bidang tersebut, ia sebenarnya telah menjadi seorang mujtahid terkenal dan amat berpengaruh dalam bidang politik dan sosial.6

Thabathaba'i belajar Fiqh dan Ushul Fiqh di bawah asuhan dua ulama besar, Syaikh Muhammad Husain al-Naini dan Syaikh Muhammad Husain al-Kimbani. Sementara dalam disiplin ilmu Filsafat ia belajar di bawah bimbingan Sayyid Husain al-Badikubi. Kemudian dalam bidang ilmu Etika ia belajar kepada al-Haj Mirza 'Ali al-Qadhi.7

Sebagaimana ulama-ulama hebat lainnya, karena ketenaran dan kehebatan intelektualnya, Thabathaba'i juga memiliki jumlah murid yang sangat banyak. Di antara muridnya yang paling terkenal di seantero dunia, khususnya di dunia Muslim adalah Sayyid Muhammad Murtadha Muthahari.8

Thabatabha'i wafat pada tanggal 15 November 1981 di kota Qum dan dimakamkan di sana, setelah lama dirundung sakit. Ratusan ribu orang termasuk para ulama dan pembesar serta tokoh-tokoh pejuang keagamaan menghadiri pemakamannya.

3.  Karya-Karya Thabathaba'i

Dalam bidang tulis menulis, Thabathaba'i juga termasuk penulis produktif yang menghasilkan karya-karya orisinil. Di samping karya monumentalnya, Tafsir al-Mizan, Thabathaba'i juga memiliki karya-karya lainnya dalam berbagai disiplin ilmu, di antaranya adalah:

1._Risalah fi al-Burhan (risalah tentang penalaran) berbahasa Arab.

2._Risalah fi al-Mughalatah (risalah tentang sofistri) berbahasa Arab.

3._Risalah fi al-Tahlil (risalah tentang analisis) berbahasa Arab.

4._Risalah fi al-Tarkib (risalah tentang susunan) berbahasa Arab.

5._Risalah fi al-I'tibariyyat (risalah tentang gagasan asal-usul manusia) berbahasa Arab.

6._Risalah fi al-Nubuwwah wa al-Manamat (risalah tentang kenabian dan mimpi-mimpi) berbahasa Arab.

Sedangkan buku-buku yang ditulis ketika ia bermukim di Tabriz adalah:

1._Risalah fi al-Asma' wa al-Sifat (risalah tentang nama-nama dan sifat Tuhan) berbahasa Arab.

2._Risalah fi al-Af'al (risalah tentang perbuatan-perbuatan Tuhan) berbahasa Arab.

3._Risalah al-Insan Qabla al-Dunya (risalah tentang manusia sebelum di dunia) berbahasa Arab.

4._Risalah al-Insan fi al-Dunya (risalah tentang manusia di dunia) berbahasa Arab.

5._Risalah al-Insan Ba'da al-Dunya (risalah tentang manusia setelah di dunia) berbahasa Arab.

6._Risalah fi al-Wilayah (risalah tentang kekuasaan) berbahasa Arab.

7._Risalah fi al-Nubuwwah (risalah tentang kenabian) berbahasa Arab.

8._Kitab Silsilah al-Thabathaba'i fi al-Azrbaijan (Kitab Silsilah Thabathaba'i di Azerbaijan) berbahasa Arab.

Kitab-kitab yang ditulisnya di Qum adalah:

1._Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, berbahasa Arab.

2._Ushul al-Falsafah (dasar-dasar filsafat) berbahasa Persi.

3._Ta'liqat 'ala Kifayah al-Ushul (anotasi atas Kitab Kifayat al-Ushul) berbahasa Arab.

4._Ta'liqat 'ala al-Asfar al-Arba'ah (anotasi atas Kitab al-Asfar al-Arba'ah) berbahasa Arab.

5._Risalah fi al-I'jaz (risalah tentang mu'jizat) berbahasa Persi.

6._Al-Syi'ah fi al-Islam (Islam Syi'ah) berbahasa Arab.

7._Al-Qur'an fi al-Islam (al-Qur’an dalam Islam) berbahasa Persi.9

 

B.  PROFIL DAN MANHAJ PENAFSIRAN TAFSIR AL-MIZAN

1.  Profil Tafsir al-Mizan

a.  Iran Pada Saat Penulisan Tafsir al-Mizan

Untuk dapat memahami pemikiran Thabathaba'i dalam menyusun Tafsir al-Mizan, maka perlu untuk mengetahui situasi dan kondisi yang mengitarinya. Dalam hal ini, perlu ditelusuri sejarah situasi dan kondisi Iran (lebih khusus daerah Tabriz dan Najf) yang menjadi tempat kelahiran sekaligus tempat ditulisnya Tafsir al-Mizan karya Thabathaba'i.

Kota Tabriz adalah kota subur yang banyak melahirkan ulama-ulama yang membaktikan dirinya untuk agama dan negara. Hasil karya mereka tidak hanya dalam bentuk bahasa Persi, melainkan juga dalam bentuk bahasa Arab ataupun Inggris.

Berbeda dengan Tabriz, Najf, kota yang dikunjungi oleh Thabathaba'i dalam pengembaraan intelektualnya, sebagaimana penjelasan dari Muhammad Mahdi al-Isfahani --yang dikutip oleh Evra Wilya dalam disertasinya-- adalah kota kering. Kondisi ini sesuai dengan namanya al-Najf atau al-Najfah yang berarti daerah yang tidak bisa dialiri air atau kering.10

Situasi dan kondisi politik kota Najf antara tahun 1923-1933, kurun waktu ketika Thabathaba'i belajar di Najf, berada dalam pergolakan sosial dan politik sebagai imbas dari Perang Dunia Pertama. Setelah Inggris menguasai Iran, maka dengan sendirinya Najf yang dahulu sebagai wilayah kekaisaran Utsmaniyyah, terlepas. Keadaan ini memberi bias bagi penduduk untuk melakukan pemberontakan. Masyarakat mendirikan sebuah lembaga dan organisasi dalam menghimpun kekuatan untuk melawan penjajahan Inggris.11 Dengan situasi seperti inilah Thabathaba'i menjalani masa-masa kehidupannya. Ia juga mempunyai hubungan akrab dengan beberapa revolusioner Iran pada masa itu.

b.  Proses Penulisan Tafsir al-Mizan

Tafsir al-Mizan terdiri dari delapan ribu empat puluh satu halaman (8041). Kitab berbahasa Arab ini telah dicetak hingga tiga kali dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Persi. Pada awalnya tujuan Thabathaba'i menulis kitab tafsir ini adalah untuk dijadikan mata kuliah di Universitas Qum, Iran. Kemudian mahasiswa-mahasiswanya mengusulkan agar tafsir yang masih berbentuk makalah-makalah tersebut untuk dibukukan menjadi sebuah kitab tafsir. Kemudian Thabathaba'i mengabulkan permintaan mahasiswa-mahasiswanya dengan menerbitkan volume pertama dari kitab tafsir "gemuk" ini pada tahun 1956 M. Selanjutnya volume-volume berikutnya dirampungkan olehnya hingga mencapai dua puluh volume.

2.  Manhaj Penafsiran Tafsir al-Mizan

a.  Sumber Penafsiran yang Dominan

Tafsir al-Mizan sebagaimana pujian dari Ilyas Klantre dalam bukunya yang berjudul Dalil al-Mizan adalah bak sebuah ombak yang meninggi dari samudera ilmu-ilmu al-Qur'an. Ilmu pengetahuan yang terdapat di dalamnya tak terhingga.12

Seperti yang tertera dalam buku-buku Ulum al-Quran bahwa sumber penafsiran terbagi menjadi dua, yaitu bi al-Ra'yi dan bi al-Ma'tsur.13 Sementara Tafsir al-Mizankarya Thabathaba'i ini sebagaimana diakuinya sendiri adalah sebuah tafsir yang menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an (baca; bi al-Ma'tsur). Klaim ini diamini oleh oleh Ilyas Klantre dengan menuturkan, "Pengakuan Thabathaba'i sesuai dengan bukti."14

Sementara itu, sumber penafsiran Tafsir al-Mizan tidak hanya berdasarkan bi al-Ma'tsur. Sebab, sebagaimana yang terkandung di dalamnya, Thabathaba'i juga menggunakan beberapa pendekatan lainnya dalam menafsirkan teks al-Qur'an, seperti pendekatan linguistik, filosofis, sejarah, theologi dan sebagainya.15

Di samping itu, Thabathaba'i juga kerap mengutip pendapat-pendapat para mufassir sebelumnya, baik mufassir klasik maupun kontemporer. Sebut saja seperti Tafsir Ibnu AbbasTafsir ThabariTafsir al-Kasyaf ZamakhsyariTafsir Mafatih al-Ghaib FakhrurraziTafsir al-Manar dan sejumlah tafsir lainnya.

Selain merujuk pada tafsir-tafsir lain, Thabathaba'i juga menggunakan beberapa kitab gramatikal dan kamus bahasa Arab, seperti Lisan al-Arabal-Muhith dan lainnya. Untuk mengkomparatifkan kajian agama-agama, Thabathaba'i juga mengutip beberapa kitab-kitab agama lain, seperti Taurat, Injil, Veda, dan lainnya.16

b.  Corak Penafsiran Tafsir al-Mizan

Kecenderungan Thabathaba'i dalam menafsirkan al-Quran secara umum penulis kategorikan sebagai tafsir yang multi disiplin. Artinya, dengan segala bidang keilmuan, hampir semua corak penafsiran dijelaskan dalam tafsir ini. Hanya saja sebagian orang ada yang mengkategorikannya sebagai tafsir yang memiliki corak filosofis, hal ini berangkat dari penguasaan Thabathaba'i dalam bidang filsafat.

c.  Metode dan Sistematika Penafsiran Tafsir al-Mizan

Langkah atau sistematika penafsiran Thabathaba'i dalam Tafsir al-Mizan adalah dimulai dengan penjelasan seputar mufradat (arti kalimat), kemudian penjelasan dari segi hukum, theologi, dan diakhiri dengan kajian berbagai riwayat.

Tampak dari uraian-uraian yang telah disampaikan bahwa Tafsir al-Mizan ini menggunakan metode tafsir tahlili. Semua asumsi tersebut didasarkan pada bentuk penafsiran Thabathaba'i yang meliputi:17

1._Dalam kitab tafsirnya, Thabathaba'i memasukkan rujukan-rujukan yang beraneka ragam baik kepada kitab-kitab tafsir, hadits, sejarah, tata bahasa dan lainnya yang tidak hanya berasal dari rujukan-rujukan kalangan Syi'ah saja.

2._Thabathaba'i menggunakan penafsiran suatu ayat atas ayat yang lain selama hal tersebut sesuai dengan mengkaji susunan kalimat dalam ayat-ayat tersebut. Dia juga memasukkan riwayat-riwayat yang membahas tafsiran suatu ayat selama riwayat tersebut mutawatir18 baik yang berasal dari Nabi atau para imam Ahl al-Bayt.

3._Perhatian terhadap masalah asbab al-nuzul, masalah qira'at, kaitan suatu ayat dengan ayat sebelum atau sesudahnya (munasabat), juga mengkaji pendapat-pendapat dari kalangan Sahabat dan Tabi'in yang menjadi pertimbangan Thabathaba'i ketika menafsirkan suatu ayat.

4._Penolakan terhadap kisah-kisah Israiliyat dilakukan Thabathaba'i, sehingga dia jarang mengutip kisah-kisah Israiliyat ketika menafsirkan al-Qur'an.

5._Menurut Thabathaba'i, setiap ayat al-Qur'an dapat dipahami dari dua sisi, yaitu yang tersurat atau makna literal dari suatu ayat yang kemudian disebutnya sebagai aspek lahir dan pemahaman terhadap yang tersirat atau makna yang terdapat di balik teks ayat yang disebut aspek batin. Dia menggunakan istilah ta'wil, dalam kitab tafsirnya, untuk maksud mengarahkan kembali pada permulaan atau asalnya. Dengan ta'wilberarti berusaha memahami rahasia batin teks karena makna batinlah makna yang sesungguhnya dari al-Qur'an. Sebuah proses yang mengarahkan penemuan sesuatu dalam teks sebagaimana nampaknya ke pandangan esensi spiritual atau rahasia batinnya melalui tindakan spiritual atau intuitif. Oleh karena itu, ta'wil hanya bisa dilakukan oleh orang yang mempunyai otoritas dalam menerjemahkan agama, menurut Thabathaba'i adalah Nabi dan para imam Ahl al-Bayt.19

6._Hal lain yang menjadi ciri khas kitab tafsir ini adalah adanya pembahasan masalah-masalah kefilsafatan, seperti menggunakan pendapat-pendapat al-Farabi dan Ibn Sina, selama pendapat tersebut sesuai dengan maksud ayat. Ini dilakukan Thabathaba'i hanya sebagai penjelasan tambahan tapi terkadang menolak pendapat-pendapat filsafat yang bertentangan dengan makna yang terkandung dalam al-Qur'an.

7._Dengan latar belakang theologis yang dipegangnya, yaitu Syi'ah, Thabathaba'i berusaha menyajikan penafsiran-penafsiran yang sejalan dengan paham Syi'ah Imamiyah serta meninggalkan paham yang tidak sesuai dengan keyakinan theologisnya.

Di samping itu, Thabathaba'i juga memiliki perhatian yang cukup dalam menjelaskan tentang kajian Makkiyah dan Madaniyah sebuah ayat.20

d.  Sebuah Contoh Penafsiran Dalam Tafsir al-Mizan

Pluralism Menurut Thabathaba'i

Tafsir Thabathaba'i atas ayat tentang pluralisme:

إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ. )البقرة:٦٢(

Terjemah:

"Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shabi'in, siapa saja di antara mereka benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran di antara mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati."

Thabathaba'i mengutip sebuah riwayat yang terdapat dalam kitab al-Dur al-Mantsur, karya al-Suyuthi bahwa ayat di atas memiliki setting historis (asbab al-wurud) tersendiri. Yaitu sebuah kisah yang diriwayatkan dari Salman al-Farisi bahwa ia pernah bertanya kepada Nabi Muhammad tentang posisi Ahli Kitab yang hidup bersamanya, kelak di akhirat. Kemudian ia menuturkan tentang ritual ibadahnya. Lalu turunlah ayat di atas.

Thabathaba'i menjelaskan ayat di atas dengan menyatakan bahwa pengulangan kata iman ( مَنْ آَمَنَ ) adalah sebuah sifat yang hakiki. Yakni, kebahagiaan yang dijanjikan oleh ayat di atas tidak diharuskan beragama Islam, Yahudi, dan Nasrani, melainkan orang-orang yang beriman kepada Allah, Hari Akhir, dan berbuat kebaikan.21

Pluralism Menurut Mufassir yang Lain

Imam al-Qurthubi mengutip pendapat dari Ibnu Abbas bahwa ayat di atas telah di-naskh dengan ayat yang berbunyi:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ. )آل عمران:٨٥(

Terjemah:

"Barang siapa yang mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima."22

Di lain pihak, Zamakhsyari dalam Tafsir al-Kasyaf memberikan komentar atas ayat di atas dengan menyatakan bahwa orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Shabi'ah, akan selamat sekiranya mereka beriman kepada Allah, Hari Akhir, dan beramal shaleh serta masuk Islam dengan tulus.23

- Analisis Perbandingan

Dari ketiga pendapat para mufassir di atas setidaknya bisa dianalisa lebih mendalam bahwa perbedaan pendapat antara Thabathaba'i dengan al-Qurthubi adalah berangkat dari permasalah naskh. Bagi Thabathaba'i, naskh dalam ayat ini tidak terjadi, karena naskh hanya berkaitan dengan masalah hukum, bukan dalam masalah ancaman dan janji sebagaimana ayat di atas. Sementara bagi al-Qurthubi, naskh bisa dilakukan dalam wilayah non hukum. Sedangkan pendapat Zamakhsyari bermula dari redaksi kewajiban beriman kepada Allah dipahami bahwa secara implisit ayat itu bermakna keharusan masuk Islam. 

Dari contoh ayat di atas, setidaknya bisa disimpulkan secara sederhana bahwa penafsiran Thabathaba'i adalah penafsiran yang mengkompromikan kedua sumber tafsir, baik bi al-Ma'tsur maupun bi al-Ra'yi. Di samping itu, kajian yang ia tawarkan dalam kajian pluralism agama juga bisa dikatakan progresif, karena tidak hanya berhenti pada riwayat-riwayat, melainkan juga menggunakan nalar, di samping sejarah agama-agama yang juga disampaikannya dalam kajian ini.

Perangkat tafsir yang digunakan oleh Thabathaba'i dalam menafsirkan ayat pluralism di atas, akan menyimpulkan sebuah tesis bahwa keselamatan di akhirat tidak hanya dimiliki oleh kaum Muslim saja, melainkan juga dimiliki oleh umat non Muslim lainnya, dengan syarat ia mengimani Allah, Hari Akhir, dan berbuat kebaikan. 

 

C.  KELEBIHAN DAN KEKURANGAN TAFSIR TAFSIR AL-MIZAN

Terkait dengan profil dan manhaj penafsiran Tafsir al-Mizan di atas, maka penulis dapat memberikan gambaran kelebihan dan kekurangan dari kitab tafsir tersebut, yaitu:

1.  Kelebihan

a._Karena imam Thabathaba'i memiliki disiplin ilmu yang begitu banyak mulai dari yang berhubungan dengan agama sampai dengan ilmu-ilmu umum maka dalam penafsirannya banyak ilmu-ilmu yang dapat menunjang penafsiran ayat-ayat dalam Al-Qur'an sehingga memiliki wawasan yang luas.

b._Ia begitu teliti dalam menukil riwayat baik itu yang dinukil dari Rasulullah, Sahabat, maupun dari kalangan Tabi'in.

c._Ia hanya mengambil sesuatu yang bermanfaat saja dari kitab-kitab yang lain.

d._Walaupun ia termasuk ulama Syi'ah, akan tetapi penafsirannya untuk memperkuat posisi Syi'ah itu tidak terlalu karena ia juga membanding-bandingkannya dengan Sunni (sharing).

2.  Kekurangan

a._Tidak menyebutkan sanad hadits secara sempurna, akan tetapi hanya menyebutkan sumber pertamanya saja, meskipun terkadang menyebutkannya juga secara keseluruhan. Sedang hadits yang terkait dengan fadilah-fadilah surah tidak disebutkan.

b._Beliau terkadang menggunakan sunnah dalam mengukuhkan dan menopang hasil pemahamannya terhadap ayat-ayat al-Qur'an dari aspek bahasa, i'rab, dan pengaruh makna dzahir dengan mengkhususkan pembahasannya. Hal itu dilakukannya jika hasil pemahamannya itu sejalan dengan sunnah, tapi jika tidak searah, maka beliau tidak menggunakannya.

 

 

 

BAB III

KESIMPULAN

 

Dari uraian pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1._Thabathaba'i bernama lengkap Sayyid Muhammmad Husain bin al-Sayyid Muhammad Husain bin al-Mirza 'Ali Ashghar Syaikh al-Islam al-Thabathaba'i al-Tabrizi al-Qadhi. Ia dilahirkan di kota Tabriz, pada 29 Zulhijjah 1321 H / 1892 M. Ia lahir dan tumbuh besar dalam keluarga ulama terkemuka dan terkenal akan keutamaan dan pengetahuannya terhadap agama. Nasab-nya bersambung hingga Nabi Muhammad, dan termasuk dari keturunan yang keempat belas. Thabatabha'i wafat pada tanggal 15 November 1981 di kota Qum dan dimakamkan di sana, setelah lama dirundung sakit.

2._Tafsir al-Mizan terdiri dari delapan ribu empat puluh satu halaman (8041). Kitab berbahasa Arab ini telah dicetak hingga tiga kali dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Persi. Pada awalnya tujuan Thabathaba'i menulis kitab tafsir ini adalah untuk dijadikan mata kuliah di Universitas Qum, Iran. Sumber penafsiran Tafsir al-Mizantidak hanya berdasarkan bi al-Ma'tsur, sebab, sebagaimana yang terkandung di dalamnya, Thabathaba'i juga menggunakan beberapa pendekatan lainnya dalam menafsirkan teks al-Qur'an, seperti pendekatan linguistik, filosofis, sejarah, theologi dan sebagainya.

3._Kelebihan kitab ini adalah dalam penafsirannya banyak ilmu-ilmu yang menunjang penafsiran ayat-ayat al-Qur'an sehingga memiliki wawasan yang luas. Kekurangannya adalah tidak menyebutkan sanad hadits secara sempurna dan beliau terkadang menggunakan sunnah jika hasil pemahamannya itu sejalan dengan sunnah, tapi jika tidak searah, maka beliau tidak menggunakannya.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Al-Awsiy, Ali, "Muqaddimah" al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an, Beirut: Mu'assasah al-A'lami li al-Matbu'ah, 1393 H / 1973 M.

Al-Awsiy, Ali, Al-Thabathaba'i wa Manhajuhu fi Tafsirihi al-Mizan, Cet. I; Teheran: Mu'awaniyah al-Ri'asah li al-'Alaqah al-Dauliyyah fi Mandzamah al-A'lam al-Islami, 1985.

Al-Qurthubi, Imam, Jami' al-Ahkam al-Qur'an, Vol. I; Beirut: Dar al-Fikr, tt.

Al-Thabathaba'i, Inilah Islam, Upaya Memahami Seluruh Konsep Islam Secara Mudah, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992.

Al-Thabathaba'i, Mengungkap Rahasia al-Qur'an, Bandung: Mizan, 1415 H / 1994 M.

Al-Thabathaba'i, Sayyid Muhammad, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an, Cet. VIII; Vol. I; Qum: Mu'assasah al-Nasr al-Islami, 1995.

Al-Zamakhsyari, Al-Kasyaf, Vol. I; Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt.

Al-Zarani, Muhammad Abd al-Azhim, Manahil al-Irfan fi 'Ulum al-Qur'an, Vol. II; Beirut: Dar al-Fikr, tt.

Iyazi, Sayyid Muhammad Ali, Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, Cet. I; Teheran: Mu'assasah al-Thiba'ah wa al-Nasyr, 1994.

Klantre, Ilyas, Dalil al-Mizan, dialihbahasakan ke dalam bahasa Arab oleh Abbas Tarjuman, Cet. I; Libanon: Mu'assasah al-A'lami li al-Mathbu'at, 1985.

Nashr, Sayyid Husain, "Kata Pengantar" dalam karya al-Thabhatabha'iAl-Qur'an fi al-Islam, terjemahan M. Wahyudin, Bandung: Mizan, 2009.

Wilya, Evra, Fiqh Hubungan Antar Umat Beragama Menurut Thabathaba'i, UIN Jakarta: Disertasi Doctoral.

 

________________________________

 

 

1Ali al-Awsiy, Al-Thabathaba'i wa Manhajuhu fi Tafsirihi al-Mizan, Cet. I; Teheran: Mu'awaniyah al-Ri'asah li al-'Alaqah al-Dauliyyah fi Mandzamah al-A'lam al-Islami, 1985, h. 44.

2Ibid.

3Al-Thabathaba'i, Inilah Islam, Upaya Memahami Seluruh Konsep Islam Secara Mudah, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992, h. 15.

4Sayyid Muhammad Ali Iyazi, Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, Cet. I; Teheran: Mu'assasah al-Thiba'ah wa al-Nasyr, 1994, h. 703.

5Ali al-Awsiy, op. cit., h. 46.

6Sayyid Husain Nashr, "Kata Pengantar" dalam karya al-Thabhatabha'iAl-Qur'an fi al-Islam, terjemahan M. Wahyudin, Bandung: Mizan, 2009, h. 21.

7Ali al-Awsiy, op. cit., h. 47-48.

8Ibid.

9Ibid.

10Evra Wilya, Fiqh Hubungan Antar Umat Beragama Menurut Thabathaba'i, UIN Jakarta: Disertasi Doctoral, h. 98.

11Ibid.

12Ilyas Klantre, Dalil al-Mizan, dialihbahasakan ke dalam bahasa Arab oleh Abbas Tarjuman, Cet. I; Libanon: Mu'assasah al-A'lami li al-Mathbu'at, 1985, h. 7.

13Muhammad Abd al-Azhim al-Zarani, Manahil al-Irfan fi 'Ulum al-Qur'an, Vol. II; Beirut: Dar al-Fikr, tt, h. 10-69.

12Ilyas Klantre, op. cit., h. 7.

15Sebagaimana yang tertulis dalam setiap cover dalam dari tiap-tiap volume Tafsir al-Mizan. Hal ini juga dibuktikan dengan sistematika penulisan tafsir tersebut.

16Mengenai rujukan-rujukan Thabathaba'i terhadap kitab tafsir, kamus, hadits, dan kitab-kitab agama lainnya, lihat Ali al-Awsiy, op. cit., h. 49-70.

17Ali al-Awsiy, "Muqaddimah" al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an, Beirut: Mu'assasah al-A'lami li al-Matbu'ah, 1393 H / 1973 M, h. 3.

18Mutawatir, dalam ilmu hadits, yaitu hadits-hadits yang diriwayatkan oleh lebih dari dua orang dalam setiap tingkatannya (tabaqat).

19Al-Thabathaba'i, Mengungkap Rahasia al-Qur'an, Bandung: Mizan, 1415 H / 1994 M, h. 47.

20Ali al-Awsiy, Al-Thabathaba'i wa Manhajuhu fi Tafsirihi al-Mizanop. cit., h. 114-118.

21Sayyid Muhammad al-Thabathaba'i, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an, Cet. VIII; Vol. I; Qum: Mu'assasah al-Nasr al-Islami, 1995, h. 193.

22Imam al-Qurthubi, Jami' al-Ahkam al-Qur'an, Vol. I; Beirut: Dar al-Fikr, tt, h. 394.

23Al-Zamakhsyari, Al-Kasyaf, Vol. I; Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt, h. 137.

 

No comments:

Post a Comment

Pages