بسم الله الرحمن الرحيم
Pembahasan ini hanya
membatasi pada musik saja, bukan nyanyiannya. Inilah alat hiburan yang paling
terkenal sejagat, paling tua, dan paling banyak peminatnya, tua, muda, pria,
wanita, awam, bahkan yang disebut sebagai ulama. Pro dan kontra apakah musik
itu sesuatu yang diharamkan atau dihalalkan oleh syariat Islam terus menerus
terjadi. Sudah sangat banyak ulama Islam membahasnya, dari zaman ke zaman, di
berbagai belahan bumi kaum muslimin, yang kesimpulannya adalah tidak ada kata final
dan kesepakatan di antara mereka. Banyak yang berpendirian haram sesuai dalil
yang mereka yakini jelas, tegas, dan shahih, dan banyak pula yang
meyakini mubah dengan dalil yang mereka juga yakini jelas, tegas, dan shahih.
Para ulama seperti
Imam Abu Yusuf, Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam An-Nawawi, Syeikh
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Syeikh
Muhammad bin Shalih Utsaimin, Syeikh Abdullah Nashih 'Ulwan, dan lainnya
berdiri pada pihak yang mengharamkannya, baik melalaikan atau tidak,
keharamannya karena benda dan musiknya itu sendiri, bahkan di antara mereka ada
yang membuat karya khusus untuk memfatwakan keharamannya.
Keharaman itu berlaku
bagi pemain, pendengar, dan yang hadir dalam majelis musik (konser). Berikut
ini keterangannya:
ذهب الفقهاء إلى أن الاستماع إلى المعازف
المحرمة حرام، والجلوس في مجلسها حرام.
Para ahli fiqih
berpendapat bahwa mendengarkan alat-alat musik yang diharamkan adalah haram,
dan duduk di dalam majelis alat-alat musik juga haram. (Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah
Al-Kuwaitiyah, 38/178)
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
Rahimahullah mengatakan:
العود والطنبور وسائر الملاهي حرام،
ومستمعها فاسق.
'Uud (alat musik
petik), tamburin, dan semua alat musik adalah haram, dan menjadi pendengarnya adalah
fasiq. (Ighatsatul
Lahfan min Mashayyidisy Syaithan, 1/248)
Beliau -- dan Beliau
adalah ulama yang sangat bersemangat dalam memfatwakan keharaman musik dan
nyanyian -- juga mengatakan:
قلت: مذهب أبى حنيفة فى ذلك من أشد
المذاهب، وقوله فيه أغلظ الأقوال. وقد صرح أصحابه بتحريم سماع الملاهى كلها،
كالمزمار، والدف، حتى الضرب بالقضيب، وصرحوا بأنه معصية، يوجب الفسق، وترد به
الشهادة، وأبلغ من ذلك أنهم قالوا: إن السماع فسق، والتلذذ به كفر، هذا لفظهم،
ورووا فى ذلك حديثاً لا يصح رفعه.
قالوا: ويجب عليه أن يجتهد فى أن لا
يسمعه إذا مر به، أو كان فى جواره.
وقال أبو يوسف، فى دار يسمع منها صوت
المعازف والملاهى, أدخل عليهم بغير إذنهم، لأن النهى عن المنكر فرض، فلو لم يجز
الدخول بغير إذن لامتنع الناس من إقامة الفرض.
قالوا: ويتقدم إليه الإمام إذا سمع ذلك
من داره، فإن أصر حبسه وضربه سياطاً، وإن شاء أزعجه عن داره.
Aku (Ibnul Qayyim)
berkata, "Madzhab paling keras dalam masalah ini adalah madzhabnya Abu
Hanifah, dan pendapatnya dalam masalah ini adalah pendapat yang paling tegas.
Sahabat-sahabatnya telah menerangkan tentang keharaman mendengarkan semua alat
musik seperti seruling, rebana, bahkan sampai memukul batang pohon sekali pun.
Mereka menerangkan bahwa hal itu adalah maksiat, pelakunya adalah fasiq,
kesaksiannya tertolak, dan lebih tegas dari itu mereka mengatakan: mendengarkan
musik adalah fasiq, menikmatinya adalah kufur, itulah lafazh perkataan mereka,
dan mereka meriwayatkan hadits (sebagai dasar pendapatnya) namun tidak shahih
sebagai hadits yang berasal dari nabi.
Mereka mengatakan:
wajib bagi seseorang untuk bersungguh-sungguh tidak mendengarkan musik jika
melewatinya, atau ketika musik itu ada pada tetangganya.
Abu Yusuf mengatakan,
jika di sebuah rumah terdengar suara musik maka masuklah ke rumah itu tanpa
izin mereka, sebab mencegah kemungkaran adalah wajib. Seandainya tidak
diizinkan masuk, niscaya manusia tidak akan bisa menjalankan kewajiban nahi
munkar tersebut.
Mereka mengatakan:
jika imam mendengarkan musik dari rumah seseorang, maka ia mesti mendatanginya.
Jika dia melawan maka imam mesti menahannya dan memukulnya dengan pecut, bahkan
jika dia mau, dia boleh diusir dari rumahnya." (Ighatsatul Lahfan,
1/227)
Sedangkan Imam Ibnu
Hazm, Imam Ibnul 'Arabi, Imam Ibnu Thahir Al-Maqdisi, Imam Al-Ghazali, Syeikh
Ali Ath-Thanthawi, Syeikh Ahmad Syurbashi, Syeikh Muhammad Al-Ghazali, Syeikh
Yusuf Al-Qaradhawi, dan lainnya berdiri pada pihak yang membolehkannya, kecuali
jika sudah melalaikan, dan dicampur hal-hal yang diharamkan, dan di antara
mereka ada yang membuat karya khusus tentang Nyanyian dan Musik untuk
menguatkan pendapat kebolehannya, seperti Imam Al-Ghazali dan Syeikh Yusuf Al-Qaradhawi.
Bagi mereka haramnya
musik adalah karena sebab yang lainnya, yaitu melalaikan, jika tidak maka tidak
apa-apa. Berikut ini keterangannya:
نص بعض الفقهاء على أن ما حرم من المعازف
وآلات اللهو لم يحرم لعينه وإنما لعلة أخرى: فقال ابن عابدين: آلة اللهو ليست
محرمة لعينها بل لقصد اللهو منها، إما من سامعها أو من المشتغل بها، ألا ترى أن
ضرب تلك الآلة حل تارة وحرم أخرى باختلاف النية؟ والأمور بمقاصدها.
Perkataan sebagian
ahli fiqih, bahwa keharaman alat-alat musik dan permainan itu bukan karena
bendanya yang haram, tetapi karena adanya 'ilat (sebab) yang lain. Ibnu 'Abidin
berkata, "Alat-alat permainan itu bukanlah haram semata-mata permainannya,
tetapi jika karenanya terjadi kelalaian baik bagi pendengar atau orang yang
memainkannya, bukankah Anda sendiri menyaksikan bahwa memukul alat-alat
tersebut kadang dihalalkan dan kadang diharamkan pada keadaan lain karena
perbedaan niatnya? Menilai perkara-perkara itu tergantung maksud-maksudnya."
(Al-Mausu'ah
Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 38/169)
Bahkan kelompok yang
membolehkan ini, sampai taraf membolehkan musik sebagai obat untuk menyembuhkan
penyakit jika dalam keadaan darurat. Perhatikan ini:
Imam Syihabuddin Ar-Ramli
Rahimahullah menjelaskan:
نَعَمْ لَوْ أَخْبَرَ طَبِيبَانِ
عَدْلَانِ بِأَنَّ الْمَرِيضَ لَا يَنْفَعُهُ لِمَرَضِهِ إلَّا الْعُودُ عُمِلَ
بِخَبَرِهِمَا وَحَلَّ لَهُ اسْتِمَاعُهُ كَالتَّدَاوِي بِنَجِسٍ فِيهِ الْخَمْرُ،
وَعَلَى هَذَا يُحْمَلُ قَوْلُ الْحَلِيمِيِّ يُبَاحُ اسْتِمَاعُ آلَةِ اللَّهْوِ
إذَا نَفَعَتْ مَنْ مَرِضَ: أَيْ لِمَنْ بِهِ ذَلِكَ الْمَرَضُ وَتَعَيَّنَ
الشِّفَاءُ فِي سَمَاعِهِ.
Ya, seandainya ada
dua dokter yang adil mengabarkan bahwa jika ada orang sakit yang penyakitnya
tidak bisa disembuhkan kecuali dengan mendengarkan 'uud (musik alat petik
sejenis kecapi), maka kabar itu boleh diamalkan dan halal mendengarkannya
sebagaimana berobat dengan najis yang di dalamnya terdapat khamr. Atas dasar
ini, mesti dipahami perkataan Al-Hulaimi bahwa bolehnya mendengarkan alat musik
jika bermanfaat bagi penyakit, yaitu bagi orang yang memang secara khusus
penyakitnya bisa disembuhkan dengan mendengarkannya. (Nihayatul Muhtaj
fi Syarhil Minhaj, 8/297)
Sementara ulama lain --
seperti Syeikh Asy-Syubramalisi -- mengatakan:
آلة اللهو قد يباح استعمالها بأن أخبر
طبيب عدل مريضا بأنه لا يزيل مرضه إلا سماع الآلة، ولم يوجد في تلك الحالة إلا
الآلة المحرمة.
Dibolehkan
menggunakan alat musik bagi orang yang sakit dengan rekomendasi dari dokter
yang adil, dalam keadaan memang penyakitnya itu tidak bisa hilang kecuali
dengan mendengarkannya, dan tidak ditemukan dalam keadaan seperti itu sebagai
obat lain kecuali alat-alat musik yang diharamkan itu. (Hasyiah Asy-Syubramalisi
ma'a Nihayatil Muhtaj, 3/385)
Kita lihat, sangat
berbeda antara kelompok satu dibanding lainnya, dengan perbedaan yang begitu
jauh. Wallahul Musta'an!
Sebagian ulama
mengatakan, bahwa telah terjadi kesepakatan ulama jika alat-alat musik
dimainkan bersamaan (semacam orkestra) maka itu diharamkan. Ada pun pembolehan
sebagian ulama madzhab Syafi’i -- seperti Imam Al-Ghazali -- adalah jika alat
musik itu dimainkan sendirian (satu alat saja), itu pun masih ditentang oleh
yang lainnya.
Berikut ini
keterangan Imam Ibnul Qayyim -- mengutip dari Imam Ibnu Ash-Shalah:
وقد حكى أبو عمرو بن الصلاح الإجماع على
تحريم السماع، الذى جمع الدف والشبابة. والغناء. فقال فى فتاويه:
وأما إباحة هذا السماع وتحليله، فليعلم
أن الدف والشبابة والغناء إذا اجتمعت، فاستماع ذلك حرام، عند أئمة المذاهب وغيرهم
من علماء المسلمين. ولم يثبت عن أحد- ممن يعتد بقوله فى الإجماع والاختلاف أنه أباح هذا السماع، والخلاف المنقول عن بعض أصحاب
الشافعى إنما نقل فى الشبابة منفردة، والدف منفرداً، فمن لا يحصل، أو لا يتأمل،
ربما اعتقد خلافاً بين الشافعيين فى هذا السماع الجامع هذه الملاهى، وذلك وهم بين
من الصائر إليه، تنادى عليه أدلة الشرع والعقل، مع أنه ليس كل خلاف يستروح إليه،
ويعتمد عليه، ومن تتبع ما اختلف فيه العلماء، وأخذ بالرخص من أقاويلهم، تزندق أو
كاد.
Abu Amr bin Ash-Shalah
menyebutkan adanya ijma' tentang keharaman mendengarkan rebana, klarinet, dan
nyanyian secara bersamaan. Beliau berkata dalam Fatawi-nya:
Ada pun tentang
kebolehan dan kehalalan mendengarkannya, maka ketahuilah bahwa rebana,
klarinet, dan nyanyian jika dimainkan bersama-sama maka itu haram menurut para
imam madzhab dan selain mereka dari kalangan ulama kaum muslimin. Tidak ada
satu pun keterangan pasti dari ulama yang ucapannya bisa diperhitungkan, baik
dalam masalah ijma' dan ikhtilaf, yang membolehkan mendengarkannya. Perbedaan
yang dinukil dari sebagian pengikut Syafi'i adalah dalam masalah klarinet jika
dimainkan sendiri, dan rebana dimainkan sendiri. Bagi mereka yang tidak
memahami dan merenungkannya, mungkin meyakini bahwa perselisihan di antara
Syafi'iyyin ini adalah dalam masalah mendengarkan musik jika dimainkan
bersamaan. Padahal itu jelas kekeliruan yang bertentangan dengan dalil syariat
dan logika. Di samping itu tidak semua perselisihan bisa kita cari-cari yang
mudah lalu kita mengikuti hal itu, sebab barang siapa yang mengikuti
perselisihan ulama lalu dia mencari-cari yang ringan dari pendapat-pendapat
mereka, maka itu telah atau hampir zindik. (Ighatsatul Lahfan, 1/228)
Perkataan Imam Ibnu
Ash-Shalah yang terakhir, merupakan kritikan keras bagi mereka yang memilih
pendapat yang enak-enak, yang ringan-ringan, di antara pendapat yang melarang
dan mengharamkan. Perkataan ini mesti dipahami bahwa sikap itu didasari oleh
pelakunya karena hawa nafsu, bukan didasari ilmu dan hujjah. Ada pun
memilih pendapat ulama yang lebih ringan, mudah, dan mubah, di tengah pendapat
ulama lain yang mengharamkannya, jika didasari hujjah yang kuat,
tidaklah itu hal tercela, justru itulah sikap yang mesti diikuti, yaitu
mengikuti dalil yang lebih kuat. Sebab keshalihan seseorang dalam beragama, dan
kehati-hatiannya terhadap dosa, tidaklah ditentukan seberapa banyak dia
mengharam-haramkan sesuatu, atau dia mengikuti pendapat ulama yang mengharamkan
sesuatu. Sebagaimana kebijaksanaan seseorang juga tidaklah ditentukan oleh
seberapa banyak dia memboleh-bolehkan sesuatu, semuanya mesti dikembalikan
kepada dalil dan kaidah ilmu yang shahih.
A. Alat Musik Dalam
Al-Qur'an dan As-Sunnah
Alat musik, baik
dengan istilah umumnya seperti Al-Ma'azif, Alatul Malahiy, dan Alatuth
Tharbi, tidak akan kita temukan dalam Al-Qur'an. Kita bisa menemukannya
dalam kitab-kitab tafsir sebagai perkataan ahli tafsir saja, bukan firman Allah
Ta’ala, sebagaimana yang nanti akan
kami uraikan. Begitu pula dengan istilah yang lebih khusus seperti Ad-Duf
(rebana), Asy-Syababah (klarinet), Al-'Uud (kecapi), At-Thambur
(tamburin), dan semisalnya, juga tidak ada dalam Al-Qur'an sedikit pun.
Ada pun dalam As-Sunnah,
istilah Al-Ma'azif begitu banyak tertera dalam berbagai hadits dalam
bentuk penceritaan yang beragam, dan diriwayatkan oleh banyak imam-imam hadits.
Alatul Malahiy juga tidak ada dalam
hadits, kecuali hanya dalam bentuk judul bab saja. Seperti kitabnya Imam Ibnu
Abi Ad-Dun-ya, Dzammul Malahiy (kecaman untuk alat-alat musik), atau
kitabnya Imam Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, dalam Bab Maa Ja'a fi
Dzammil Malahiy minal Ma'azif wal Mazamir wa Nahwiha (bab tentang celaan
untuk alat-alat musik, seruling, dan semisalnya). Alatuth Tharbi juga
tidak kita temukan dalam hadits-hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
B. Apa itu Al-Ma'azif
- المعازِف?
Al-Ma'azif merupakan jamak dari
Al-Mi'zaf - المعزف, dari kata 'azafa, yang artinya
berpaling. Para ulama kita mendefinisikannya secara beragam.
Imam Ibnul Qayyim
mengatakan:
أن المعازف هى آلات اللهو كلها، لا خلاف
بين أهل اللغة فى ذلك.
Al-Ma'azif adalah
semua alat musik, dan tidak ada perselisihan pendapat para ahli bahasa atas hal
itu. (Ighatsatul
Lahfan, 1/260)
Al-Hafizh Ibnu Hajar
mengatakan:
وهي آلات الملاهي ونقل القرطبي عن
الجوهري أن المعازف الغناء والذي في صحاحه أنها آلات اللهو وقيل أصوات الملاهي وفي
حواشي الدمياطي المعازف الدفوف وغيرها مما يضرب به.
Itu adalah alat-alat
musik. Al-Qurthubi menukil dari Al-Jauhari bahwa Al-Ma'azif adalah nyanyian,
dan yang tertera dalam kitab Shihah-nya bahwa itu adalah alat-alat musik, dan
ada yang mengatakan suara-suara yang melalaikan. Dalam Hawasyi Ad-Dimyathi
disebutkan bahwa Al-Ma'azif adalah rebana dan alat lainnya yang termasuk alat
musik pukul. (Fathul
Bari, 10/55)
Imam Ibnu Hajar juga
menyebut bahwa Al-Ma'azif adalah:
وهي المزاهر والات الملاهي.
Itu adalah seruling
dan alat-alat musik. (Ibid,
1/156)
Imam Abul Faraj Al-Jauzi
mengatakan:
وَأما المعازف فَهِيَ الملاهي المصوتة.
Ada pun Al-Ma'azif,
dia adalah suara yang melalaikan. (Kasyful Musykil, 4/145)
Berkata Imam Adz-Dzahabi
Rahimahullah:
اسم لكل آلات الملاهي التي يعزف بها،
كالزمر، والطنبور، والشبابة، والصنوج.
Nama untuk semua alat-alat
musik yang dimainkan, seperti seruling, tamborin, Asy-Syababah (sejenis
seruling juga), simbal (sejenis alat musik). (Siyar A'lam An-Nubala, 21/158)
Imam Abul 'Ala Al-Mubarkafuri
mengatakan:
وَهِيَ الدُّفُوفُ وَغَيْرُهَا مِمَّا
يُضْرَبُ كَذَا فِي النِّهَايَةِ وَقَالَ فِي الْقَامُوسِ الْمَعَازِفُ
الْمَلَاهِي كَالْعُودِ وَالطُّنْبُورِ.
Itu adalah rebana dan
alat musik pukul lainnya, sebagaimana di sebutkan dalam An-Nihayah. Ada pun
dalam Al-Qamus, Al-Ma'azif Al-Malahi adalah kecapi dan tamburin. (Tuhfah Al-Ahwadzi,
6/377-378)
Maka, bisa kita
simpulkan dari penjelasan ulama, Al-Ma'azif adalah semua alat musik,
seperti kecapi, rebana dan semua alat musik yang dipukul, seruling, dan
lainnya.
Selanjutnya kami paparkan
kedua pihak antara yang mengharamkan dan membolehkan beserta alasan masing-masing
pihak, beserta deretan nama-nama ulama di masing-masing golongan.
C. Para Ulama Yang
Mengharamkan
Berikut ini adalah hujjah
pihak yang mengharamkan alat-alat musik:
1. Dalil-Dalil Dari
Al-Qur'an
Dalam Al-Qur'an, kita
tidak akan temui ayat yang secara jelas dan tegas membicarakan alat musik, baik
memainkan dan mendengarkannya. Namun yang akan kita temui adalah banyak ayat
yang mengecam segala bentuk permainan dan perkataan yang melalaikan, sehingga
dengan menggunakan pendekatan tafsir -- baik salaf dan khalaf --
mereka mengartikannya sebagai musik, nyayian, dan lagu. Artinya, bukan dari
ayat itu sendiri yang secara apa adanya, tersurat (manthuuq),
menunjukkan kata-kata musik atau istilah lainnya tentang musik seperti Alatuth
Tharbi, Al-Malaahi, dan Al-Ma'aazif, tetapi penyebutan musik
itu berasal dari interpretasi (tafsir) para mufassir dan ulama, yang
memungkinkan terjadinya tafsir-tafsir yang lain selain musik, seperti yang akan
kita lihat nanti.
Sebagai contoh, Surat
Al-Baqarah ayat 101-102:
وَلَمَّا جَاءَهُمْ رَسُولٌ مِنْ عِنْدِ
اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ نَبَذَ فَرِيقٌ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ كِتَابَ اللَّهِ وَرَاءَ ظُهُورِهِمْ كَأَنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُوا الشَّيَاطِينُ ....
Dan setelah datang
kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (Kitab) yang
ada pada mereka, sebahagian dari orang-orang yang diberi kitab (Taurat)
melemparkan kitab Allah ke belakang (punggung)nya, seolah-olah mereka tidak
mengetahui (bahwa itu adalah kitab Allah) dan mereka mengikuti apa yang dibaca
oleh syaitan-syaitan .... (Al-Baqarah: 101-102)
Firman-Nya yang
berbunyi: .... dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan.
وهي المعازف واللعب وكل شيء يصد عن ذكر
الله.
Itu adalah alat-alat
musik, permainan, dan semua hal yang menghalangi manusia dari mengingat Allah. (Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari,
Jami'ul Bayan, 2/316. Imam Ibnu Abi Hatim, Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim,
1/186. Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim, 1/346. Imam As-Suyuthi,
Ad-Durul Mantsur, 1/234. Imam Asy-Syaukani, Fathul Qadir, 4/270)
Ayat lainnya, Surat
Luqman ayat 6:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ
الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْم.
Dan di antara manusia
(ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan
(manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan. (Luqman: 6)
Apa yang dimaksud
perkataan tidak berguna (lahwul hadits)? Di sebutkan dalam Al-Akhbar Al-Musnadah,
bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, "Itu adalah
alat musik dan penyanyi." (Tafsir As-Sam’ani, 4/226)
Sementara Abdullah
bin Mas'ud, Abdullah bin 'Abbas, Jabir bin Abdillah, 'Ikrimah, Al-Hasan,
Mujahid, dan mayoritas ahli tafsir mengatakan ayat ini turun tentang nyanyian.
Bahkan Abdullah bin Mas'ud bersumpah atas hal itu. Al-Hasan mengatakan juga: Al-Ma'aazif
(alat-alat musik). Sementara Adh-Dhahak mengatakan: Itu adalah syirik
kepada Allah. Ibnu Juraij mengatakan: Itu adalah drum (bedug).
Abdullah bin Sahl At-Tastari mengatakan: Itu adalah berdebat tentang agama
dan kebatilan. Qatadah mengatakan: Bahwa maksudnya adalah ucapan orang-orang
Quraisy yang mempermainkan Islam, dan kebiasaan mereka dengan hal-hal yang
batil. (Ibid. Lihat juga Imam Ibnu 'Athiyah, Tafsir Al-Qur'an,
4/345. Imam Al-Qurthubi, Al-Jaami' Liahkamil Qur'an, 14/52)
Ayat lainnya, Surat
Al-Anfal ayat 35:
وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِندَ الْبَيْتِ
إِلاَّ مُكَاء وَتَصْدِيَةً فَذُوقُواْ الْعَذَابَ بِمَا كُنتُمْ تَكْفُرُونَ.
Shalat mereka di
sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka
rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu. (Al-Anfal: 35)
Ini merupakan kecaman
atas kebiasaan Arab jahiliyah, yang melakukan ibadah dengan cara "hiburan"
yaitu bersiul dan tepuk tangan. Maka, melalui pendekatan qiyas aula,
jika bersiul dan tepuk tangan saja merupakan hal yang buruk dan dikecam, apalagi
nyanyian dan musik.
Demikianlah dalil-dalil
Al-Qur'an yang dianggap mengharamkan musik. Masih ada beberapa ayat lainnya,
tetapi ayat-ayat tersebut lebih pas kita bahas ketika membahas Nyanyian dan
Lagu.
2. Dalil-Dalil Dari
As-Sunnah
Berikut ini adalah
hadits-hadits yang menjadi hujjah haramnya musik.
Hadits pertama:
وَقَالَ هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ:
حَدَّثَنَا صَدَقَةُ بْنُ خَالِدٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ
بْنِ جَابِرٍ، حَدَّثَنَا عَطِيَّةُ بْنُ قَيْسٍ الكِلاَبِيُّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ
الرَّحْمَنِ بْنُ غَنْمٍ الأَشْعَرِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنِي أَبُو عَامِرٍ أَوْ
أَبُو مَالِكٍ الْأَشْعَرِيُّ، وَاللَّهِ مَا كَذَبَنِي: سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ، "لَيَكُونَنَّ
مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ، يَسْتَحِلُّونَ الحِرَ وَالحَرِيرَ، وَالخَمْرَ
وَالمَعَازِفَ".
Berkata Hisyam bin 'Ammar:
berkata kepada kami Shadaqah bin Khalid, berkata kepada kami Abdurrahman bin
Yazid bin Jabir, berkata kepada kami 'Athiyah bin Qais Al-Kilabi, berkata
kepada kami Abdurrahman bin Ghanam Al-Asy'ari, dia berkata: berkata kepadaku 'Amir
atau Abu Malik Al-Asy'ari, demi Allah tidaklah dia membohongi aku: dia
mendengar Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, "Di antara umatku
akan ada suatu kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr (minuman keras), dan
alat-alat musik." (HR. Bukhari No. 5590)
Hadits ini, bagi
kelompok ini adalah SHAHIH (valid) dan SHARIH (jelas). Shahih
karena diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Kitab Shahih-nya, dan Ahlus
Sunnah telah ijma' bahwa Shahih Bukhari adalah kitab paling shahih
setelah Al-Qur'an. Sharih (jelas) karena nabi tegas mengatakannya bahwa
jika "akan datang masa-masa umatnya menghalalkan" berarti
dahulu hal itu diharamkan.
Imam Ibnu Hazm Rahimahullah
mendhaifkan hadits ini karena Imam Bukhari menulisnya secara mu'allaq,
yaitu terputus sanadnya. Menurutnya, Imam Bukhari tidak meriwayatkan hadits ini
secara langsung dari Hisyam bin Ammar, terbukti dengan apa yang ditulis oleh
Imam Bukhari sendiri, "Berkata Hisyam bin Ammar ....", bukan "Dari
Hisyam bin Ammar ....", maka menurut Imam Ibnu Hazm kalimat Berkata
Hisyam bin Ammar menunjukkan Beliau tidak mendengarkan langsung dari Hisyam
bin Ammar, sehingga Imam Ibnu Hazm menolak keshahihan hadits ini.
Namun, para ulama
telah mengkritik keras Imam Ibnu Hazm. Di antara yang paling bersemangat dan
tajam adalah Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ighatsatul Lahfan,
katanya:
هذا حديث صحيح، أخرجه البخارى فى "صحيحه"
محتجاً به، وعلقه تعليقاً مجزوماً به.
Hadits ini shahih,
dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam "Shahih"-nya, beliau
menjadikannya sebagai hujjah, dan Beliau meriwayatkannya secara mu’allaq namun
bernilai jazm (pasti lagi tegas).
Lalu Beliau
melanjutkan:
ولم يصنع من قدح فى صحة هذا الحديث
شيئاً، كابن حزم، نصرة لمذهبه الباطل فى إباحة الملاهى، وزعم أنه منقطع، لأن
البخارى لم يصل سنده به. وجواب هذا الوهم من وجوه:
Sedikit pun pihak
yang mencacat hadits ini tidaklah bisa berbuat apa-apa, seperti Ibnu Hazm, dia
dalam rangka membela pendapatnya yang batil dalam membolehkan alat musik, telah
mengira hadits ini terputus (munqathi') karena Imam Bukhari tidak menyambungkan
sanadnya. Ada beberapa sisi untuk menjawab keraguan ini (lalu Ibnul Qayyim
menyebut lima alasan)[1]
.... (Lihat
Ighatsatul Lahfan, 1/259)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah
mengomentari Imam Ibnu Hazm, katanya:
فزعم بن حزم أنه منقطع فيما بين البخاري
وهشام وجعله جوابا عن الاحتجاج به على تحريم المعازف وأخطأ في ذلك من وجوه والحديث
صحيح معروف الاتصال بشرط الصحيح.
Ibnu Hazm menyangka
bahwa hadits ini terputus sanadnya antara Al-Bukhari dan Hisyam, lalu dia
menjadikannya itu sebagai jawaban atas hujah pengharaman alat-alat musik.
Beliau keliru dalam hal ini di banyak sisi, hadits ini shahih, dikenal
bersambung sanadnya sesuai syarat hadits shahih. (Fathul Bari,
10/52)
Hadits kedua:
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِنَّ اللهَ بَعَثَنِي رَحْمَةً
لِلْعَالَمِينَ وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ، وَأَمَرَنِي رَبِّي بِمَحْقِ الْمَعَازِفِ
وَالْمَزَامِيرِ وَالْأَوْثَانِ وَالصُّلُبِ، وَأَمْرِ الْجَاهِلِيَّة.
Dari Abu Umamah, dia
berkata: Bersabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam: Sesungguhnya Allah
mengutusku sebagai rahmat dan petunjuk bagi semesta alam, Rabbku telah
memerintahkan aku untuk membinasakan alat-alat musik, seruling, berhala, salib
dan perkara jahiliyah .... (HR. Ahmad No. 22307, Ath-Thayalisi No. 1230, Ath-Thabarani
dalam Al-Kabir No. 7803, dan Al-Baihaqi dalam Syu'abul Iman No.
6108)
Hadits yang mulia ini
menunjukkan bahwa alat-alat musik hendak dihancurkan oleh Nabi Shallallahu 'Alaihi
wa Sallam, itu menunjukkan kebenciannya terhadapnya serta keharaman hukum
atasnya. Tetapi, hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah, sebab dhaif
jiddan (sangat lemah - invalid text), sebagaimana dikatakan Syeikh
Syu'aib Al-Arnauth, lantaran ada dua perawi yang dhaif yaitu Faraj bin
Fadhalah dan 'Ali bin Yazid. (Ta'liq Musnad Ahmad, 36/646)
Hadits ketiga:
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ، أَنَّ
رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: فِي هَذِهِ الأُمَّةِ
خَسْفٌ وَمَسْخٌ وَقَذْفٌ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ: يَا رَسُولَ
اللهِ، وَمَتَى ذَاكَ؟ قَالَ: إِذَا ظَهَرَتِ القَيْنَاتُ وَالمَعَازِفُ وَشُرِبَتِ
الخُمُورُ.
Dari 'Imran bin
Hushain, dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, "Akan datang pada umat
mereka ditenggelamkan, rupa mereka berubah, dan dilempari batu." Mereka
bertanya, "Wahai Rasulullah, kapan hal itu terjadi?" Beliau bersabda,
"Ketika nampak penyanyi wanita, musik-musik, dan diminumnya khamr." (HR. At-Tirmidzi No.
2212, katanya: hadits ini gharib, Ar-Ruyani dalam Musnad-nya No.
132, dan Ath-Thabarani dalam Al-Kabir No. 5810. Lafazh ini milik At-Tirmidzi.
Dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Shahihul Jami' No. 5467)
Hadits ini
menceritakan masa depan umat Islam yang kelam, yakni ketika musik, biduanita,
dan khamr meraja lela. Ini menunjukkan bahwa musik adalah hal yang diharamkan
bahkan disetarakan dengan khamr.
Hadits keempat:
عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْعَرِيِّ، عَنْ
رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ، لَيَشْرَبَنَّ
أُنَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ، يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا، وَتُضْرَبُ
عَلَى رُءُوسِهِمُ الْمَعَازِفُ، يَخْسِفُ اللهُ بِهُمُ الْأَرْضَ، وَيَجْعَلُ
مِنْهُمْ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ.
Dari Abi Malik Al-Asy'ari,
dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, bersabda: "Manusia di
antara umatku akan benar-benar minum khamr, mereka menamakannya dengan bukan
namanya, dipukulkan di hadapan mereka alat-alat musik, Allah membenamkan mereka
di bumi, dan menjadikan sebagian mereka sebagai kera dan babi." (HR. Al-Baihaqi dalam
As-Sunan Al-Kubra No. 17383 dan 20989, dengan tambahan: mughanniyat
(biduanita), Ibnu Majah No. 4020, dan Ath-Thabarani dalam Al-Kabir No.
3419. Dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Ghayatul Maram No. 402)
Hadits kelima:
Dari Ibnu 'Abbas Radhiallahu
'Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيَّ، أَوْ
حُرِّمَ الْخَمْرُ، وَالْمَيْسِرُ، وَالْكُوبَةُ.
Sesungguhnya Allah haramkan atasku, atau diharamkan
khamr, judi, dan Al-Kubah. (HR. Abu Daud No. 3696,
Abu Ya'la No. 2729, dan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra No. 20991.
Dishahihkan oleh Imam Ibnu Hibban dalam Tuhfatul Muhtaj Ila Adillatil Minhaj
No. 1792, Syeikh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah No. 2425, dan Syeikh
Syu'aib Al-Arnauth dalam Ta'liq Musnad Ahmad 4/280. Syeikh Husein Salim
Asad dalam Musnad Abu Ya'la mengatakan: para perawinya terpercaya)
Imam Abu Daud
berkata: Sufyan bertanya kepada Ali bin Badzimah tentang Al-Kubah, dia
menjawab: Ath-Thabl - drum/gendang. (Sunan Abi Daud No. 3639).
Sementara Imam Ibnu Abi Syaibah mengatakan: Al-Kubah adalah Al-'Uud
- kecapi. (Al-Mushannaf No. 24080). Imam Ibnul Atsir mengatakan: Al-Kubah
adalah Ath-Thablush Shaghir - gendang kecil. (Jami'ul Ushul,
5/97). Imam Ahmad bertanya kepada Yahya bin Ishaq, apa itu Al-Kubah?
Beliau menjawab: Thabl - drum. (Al-Badrul Munir, 9/649). Imam
Muhammad bin Katsir mengatakan, Al-Kubah adalah dadu menurut bahasa
penduduk Yaman. (Imam Abu 'Ubaid, Gharibul Hadits, 4/278)
Hadits keenam:
Dari Ibnu 'Abbas Radhiallahu
'Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمِ
الْخَمْرَ، وَالْمَيْسِرَ، وَالْكُوبَةَ.
Sesungguhnya Allah
mengharamkan atas kalian khamr, judi, dan Al-Kubah. (HR. Ahmad No. 2625.
Syeikh Syu'aib Al-Arnauth mengatakan: isnadnya shahih. Lihat Ta'liq
Musnad Ahmad, 4/381. Al-Baihaqi dalam Al-Adab No. 628)
Hadits ketujuh:
Dari Abdullah bin 'Amr
Radhiallahu 'Anhu, katanya:
أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَهَى عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَالْكُوبَةِ
وَالْغُبَيْرَاءِ.
Bahwa Nabi
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam melarang khamr, Al-Kubah, dan Al-Ghubaira. (HR. Abu Daud No.
3685. Abu Daud mengatakan bahwa menurut Imam Abu 'Ubaid, Al-Ghubaira
adalah minuman keras yang terbuat dari perasan jagung. Di dalam sanadnya
terdapat Al-Walid bin 'Abdah. Imam Al-Mundziri mengatakan: Walid bin 'Abdah
menurut Imam Abu Hatim adalah: majhul (tidak dikenal). Ibnu Yunus
mengatakan dalam Tarikh Al-Mishriyin bahwa Walid bin 'Abdah adalah
pelayannya Abdullah bin Amr bin Al-'Ash. Yazid bin Habib meriwayatkan hadits
darinya, dan hadits ini ma'lul - memiliki cacat. Lihat Mukhtashar,
5/268-269. Namun dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah
No. 1708)
Hadits kedelapan:
Anas bin Malik Radhiallahu
'Anhu mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
صوتان ملعونان في الدنيا والآخرة مزمار
عند نعمة ورنة عند مصيبة.
Ada dua suara yang
dilaknat di dunia dan akhirat; suara seruling ketika mendapatkan kenikmatan dan
raungan ketika musibah. (HR. Al-Bazzar No. 7513, dan Alauddin Al-Muttaqi Al-Hindi,
Kanzul 'Ummal No. 40661 dan 40673. Syeikh Al-Albani menghasankan. Lihat Shahih
At-Targhib wat Tarhib No. 3527. Imam Al-Haitsami mengatakan: para perawinya
terpercaya. Lihat Majma'uz Zawaid, 3/13. Dihasankan pula oleh Syeikh
Abdul Malik bin Abdullah Duhaisy dalam tahqiqnya terhadap kitab Al-Ahadits
Al-Mukhtarah-nya Imam Dhiya'uddin Al-Maqdisi No. 2200. Sementara Imam Al-Munawi
mengatakan: isnadnya shahih. Lihat At-Taisir bi Syarhil Jaami' Ash-Shaghir,
2/95)
Kata laknat di sini,
menunjukkan haramnya hal tersebut dilakukan. Bahkan Imam Al-Qurthubi dan Imam
Ibnu Taimiyah mengatakan -seperti yang dikutip Imam Al-Munawi:
بل فيه دلالة على تحريم الغناء فإن
المزمار هو نفس صوت الإنسان يسمى مزمارا كما في قوله لقد أوتيت مزمارا من مزامير
آل داود انتهى.
Bahkan dalam hadits
ini terdapat petunjuk haramnya nyanyian, sebab seruling itu sejenis dengan
suara manusia, dan suara tersebut dinamakan dengan seruling sebagaimana dalam
sabdanya (tentang suara Abu Musa Al-Asy'ari ketika membaca Al-Qur'an), "Engkau
telah diberikan seruling di antara seruling-seruling keluarga Daud."
Selesai.
(Imam Al-Munawi, Faidhul Qadir, 4/210)
Hadits kesembilan:
Dari Abu Hurairah Radhiallahu
'Anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
الْجَرَسُ مَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ.
Lonceng adalah
seruling-seruling syetan. (HR. Muslim No. 2114, Abu Daud No. 2556, An-Nasa'i dalam
As-Sunan Al-Kubra No. 8761)
Celaan ini untuk
lonceng, padahal suaranya masih sederhana, apalagi untuk alat musik yang mendayu-dayu
dan mempengaruhi hati dan jiwa?
D. Komentar Para Ulama Yang Mengharamkan
Berikut ini adalah
komentar para ulama yang mengharamkan musik.
1. Abdullah bin 'Abbas
Radhiallahu 'Anhuma
Beliau mengatakan:
الدف حرام والمعازف حرام والكوبة حرام
والمزمار حرام.
Rebana adalah haram,
Al-Ma’azif adalah haram, gendang adalah haram, dan seruling adalah haram. (HR. Al-Baihaqi,
10/222. Dari jalan Abdul Karim Al-Jazari dari Abu Hasyim Al-Kufi. Syeikh Al-Albani
mengatakan: isnadnya shahih. Lihat Tahrim Alat Ath-Tharb, Hal.
92. Cet. 3, 1426 H / 2005 M, Muasasah Ar-Rayyan)
2. Abdullah bin 'Umar
Radhiallahu 'Anhuma
Imam Az-Zaila'i Rahimahullah
menceritakan:
وَرُوِيَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عُمَرَ أَنَّهُ رَأَى فِي يَدِ بَعْضِ النَّاسِ شَيْئًا مِنْ الْمَعَازِفِ فَكَسَرَهُ
فِي رَأْسِهِ.
Diriwayatkan dari
Abdullah bin Umar bahwa Beliau melihat di tangan sebagian orang adanya alat-alat
musik, lalu Beliau menghancurkan alat-alat itu di hadapannya. (Tabyinul Haqa-iq,
5/238)
Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah
menyebutkan:
وَرَوَى نَافِعٌ، قَالَ: سَمِعَ ابْنُ
عُمَرَ مِزْمَارًا، قَالَ: فَوَضَعَ إصْبَعَيْهِ فِي أُذُنَيْهِ، وَنَأَى عَنْ
الطَّرِيقِ، وَقَالَ لِي: يَا نَافِعُ، هَلْ تَسْمَعُ شَيْئًا؟ قَالَ: فَقُلْت:
لَا. قَالَ: فَرَفَعَ إصْبَعَيْهِ مِنْ أُذُنَيْهِ، وَقَالَ: كُنْت مَعَ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَسَمِعَ مِثْلَ هَذَا، فَصَنَعَ
مِثْلَ هَذَا.
Nafi' meriwayatkan,
katanya: Ibnu Umar mendengar suara seruling, lalu dia menutup kedua telinganya
dengan jarinya, lalu dia menjauh dari jalan dan berkata kepadaku, "Wahai
Nafi', apakah kamu masih mendengar suaranya?" Aku menjawab, "Tidak."
Lalu Ibnu Umar melepaskan jarinya dari kedua telinganya. Lalu Ibnu Umar
berkata: "Dulu aku bersama Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, dia
mendengar suara ini, dan dia melakukan seperti ini (maksudnya menutup telinga)." (Al-Mughni,
10/154)
Namun hadits yang
disebut Ibnu Umar tersebut adalah dhaif. Imam Ibnu Qudamah mengatakan, "Diriwayatkan
oleh Al-Khalal melalu dua jalur, juga diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya,
katanya: hadits ini munkar." (Ibid)
3. Umar bin Abdul 'Aziz
Radhiallahu 'Anhu
Imam Al-Auza'i
mengatakan bahwa Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengirim surat kepada Umar bin Al-Walid,
di antara bunyi suratnya:
وَإِظْهَارُكَ الْمَعَازِفَ
وَالْمَزَامِيرَ بِدْعَةٌ فِي الْإِسْلَامِ.
"....
penyebaranmu terhadap alat-alat musik dan seruling, itu adalah bid'ah dalam
Islam ...."
(Imam An-Nasa'i, As-Sunan Al-Kubra No. 4421)
4. Imam Al-Hasan Al-Bashri
Radhiallahu 'Anhu
Beliau mengatakan:
ليس الدفوف من أمر المسلمين في شيء
وأصحاب عبد الله يعني ابن مسعود كانوا يشققونها.
Rebana sama sekali
bukan berasal dari budaya kaum muslimin, dan para sahabat Abdullah bin Mas’ud
merobek-robeknya.
(Tahrim Alat Ath-Tharb, Hal. 103-104)
5. Imam Muhammad bin
Al-Hasan Rahimahullah
Beliau adalah murid
sekaligus kawan Imam Abu Hanifah, katanya:
لَا يَنْعَقِدُ بَيْعُ هَذِهِ
الْأَشْيَاءِ؛ لِأَنَّهَا آلَاتٌ مُعَدَّةٌ لِلتَّلَهِّي بِهَا مَوْضُوعَةٌ
لِلْفِسْقِ، وَالْفَسَادِ فَلَا تَكُونُ أَمْوَالًا فَلَا يَجُوزُ بَيْعُهَا.
Tidak boleh berkumpul
untuk membeli benda-benda ini (alat-alat musik), karena ini alat-alat yang
biasanya dipakai untuk melenakan dan merupakan zona kefasikan dan kerusakan,
maka janganlah menjadikannya sebagai harta kekayaan, dan tidak boleh melakukan
jual-beli barang tersebut. (Imam Al-Kisani, Bada'i Ash-Shana'i, 5/144)
6. Imam Asy-Syafi'i Radhiallahu
'Anhu
Al-Qadhi Abu Thayyib
menceritakan:
وحكي عن الشافعي أنه كان يكره الطقطقة
بالقضيب ويقول وضعته الزنادقة ليشتغلوا به عن القرآن.
Diceritakan dari Imam
Asy-Syafi'i, bahwa Beliau membenci mengetuk-ketuk batang pohon dan mengatakan
itu adalah perbuatan orang zindiq yang dengannya orang menjadi lalai dari Al-Qur'an. (Imam Al-Ghazali, Ihya'
'Ulumuddin, 2/269)
Imam Asy-Syafi'i
berkata:
وَلَوْ كَسَرَ لَهُ طُنْبُورًا أَوْ
مِزْمَارًا أَوْ كَبَرًا فَإِنْ كَانَ فِي هَذَا شَيْءٌ يَصْلُحُ لِغَيْرِ
الْمَلَاهِي فَعَلَيْهِ مَا نَقَصَ الْكَسْرُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ يَصْلُحُ إلَّا
لِلْمَلَاهِي فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ وَهَكَذَا لَوْ كَسَرَهَا نَصْرَانِيٌّ
لِمُسْلِمٍ أَوْ نَصْرَانِيٌّ أَوْ يَهُودِيٌّ أَوْ مُسْتَأْمَنٌ أَوْ كَسَرَهَا
مُسْلِمٌ لِوَاحِدٍ مِنْ هَؤُلَاءِ أَبْطَلْت ذَلِكَ كُلَّهُ.
Seandainya seseorang
menghancurkan tamburin, seruling, atau gendang, yang jika benda-benda ini
difungsikan selain alat musik maka dia mesti membayar ganti rugi, tetapi jika
benda-benda ini fungsinya hanyalah sebagai alat musik, maka dia tidak usah
mengganti rugi. Demikian pula jika yang menghancurkan adalah seorang Nasrani
terhadap milik seorang muslim, atau dilakukan oleh Yahudi, kafir musta'min,
atau orang Islam yang menghancurkan milik mereka, maka semua itu adalah batil
(tidak usah diganti rugi). (Al-Umm, 4/225)
Imam Asy-Syafi'i
menganggap bahwa alat-alat musik yang fungsinya memang hanya untuk musik, maka
ketika dihancurkan tidak ada kewajiban ganti rugi, siapa pun pelakunya dan
pemiliknya.
Imam Abul Hasan Al-Muhamili
Rahimahullah mengatakan tentang sikap madzhab Syafi'i tentang menjual
alat musik:
ويُكره بيع الخشب ممن يتخذ الملاهي، مثل:
الطُّنبور، والطّبل وما شابه ذلك، والبيع صحيح؛ لإمكان أن يستعمله في غيره.
Hal yang dibenci
menjual kayu untuk dijadikan alat musik seperti tamburin, gendang, dan
semisalnya. Menjualnya memang sah jika untuk difungsikan selain untuk itu
(musik).
(Al-Lubab fil Fiqhisy Syafi'i, 1/245)
7. Imam Ibnu Nujaim Al-Hanafi Rahimahullah
Beliau berkata:
وَفِي الْمِعْرَاجِ الْمَلَاهِي
نَوْعَانِ مُحَرَّمٌ وَهُوَ الْآلَاتُ الْمُطْرِبَةُ مِنْ غَيْرِ الْغِنَاءِ
كَالْمِزْمَارِ سَوَاءٌ كَانَ مِنْ عُودٍ أَوْ قَصَبٍ كَالشَّبَّابَةِ أَوْ
غَيْرِهِ كَالْعُودِ وَالطُّنْبُورِ لِمَا رَوَى أَبُو أُمَامَةَ أَنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ قَالَ «إنَّ اللَّهَ بَعَثَنِي رَحْمَةً
لِلْعَالَمِينَ وَأَمَرَنِي بِمَحْقِ الْمَعَازِفِ وَالْمَزَامِيرِ» وَلِأَنَّهُ
مُطْرِبٌ مُصِدٌّ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ تَعَالَى وَالنَّوْعُ الثَّانِي مُبَاحٌ
وَهُوَ الدُّفُّ فِي النِّكَاحِ وَفِي مَعْنَاهُ مَا كَانَ مِنْ حَادِثِ سُرُورٍ
وَيُكْرَهُ فِي غَيْرِهِ.
Tingkatan hukum alat-alat
musik ada dua jenis. Pertama, yang diharamkan yaitu alat-alat musik untuk
nyanyian yang dimainkan tanpa lagu seperti seruling, sama saja baik yang
terbuat dari kayu atau rotan, seperti klarinet atau alat lainnya seperti
kecapi, tamburin, berdasarkan riwayat dari Abu Umamah bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi
wa Sallam bersabda, "Allah mengutusku sebagai rahmat bagi semesta alam dan
memerintahkan aku menghancurkan alat-alat musik dan seruling", karena itu
merupakan nyanyian yang dapat menghalangi ingatan kepada Allah Ta’ala. Kedua,
yang dibolehkan yaitu rebana dalam pernikahan, semakna dengan ini adalah
kondisi apa saja berupa peristiwa yang menyenangkan, dan dimakruhkan rebana
diluar waktu ini.
(Al-Bahru Ar-Ra-iq, 7/88)
8. Imam Abul Ma'ali
Al-Bukhari Al-Hanafi Rahimahullah
Beliau mengatakan:
وفي فتاوى أهل سمرقند استماع صوت الملاهي
كالضرب بالقصب، وغير ذلك من الملاهي حرام، وقد قال عليه السلام: استماع الملاهي
معصية والجلوس عليها فسق والتلذذ بها من الكفر.
Dalam Fatawa Ahli
Samarqandi disebutkan bahwa mendengarkan suara hiburan seperti memukul rotan
dan alat hiburan lainnya adalah haram. Sebagaimana sabda nabi: mendengarkan
alat hiburan adalah maksiat, duduk mendengarkannya adalah fasiq, menikmatinya
adalah kufur.
(Al-Muhith Al-Burhani, 5/369)
Imam Ibnul Qayyim
mengatakan hadits yang dimaksud ini tidaklah sampai Rasululah Shallalahu 'Alaihi
wa Sallam.
9. Imam Abu Abdillah
Zainuddin Abdul Qadir Al-Hanafi Rahimahullah
Beliau menuliskan:
اسْتِمَاع الملاهي وَسَمَاع صَوت الملاهي
كلهَا حرَام فَإِن سمع بَغْتَة فَهُوَ مَعْذُور ثمَّ يجْتَهد أَن لَا يسمع مهما
أمكنه.
Mendengarkan secara
sengaja alat-alat musik, semuanya adalah haram, sedangkan mendengarkannya
secara tidak diduga hal itu dimaafkan, kemudian hendaknya dia bersungguh-sungguh
untuk tidak mendengarkannya sebisa mungkin. (Tuhfatul Muluk, Hal. 238)
10. Imam Ad-Dasuqi Al-Maliki
Rahimahullah
Beliau mengatakan:
وَقِيلَ هِيَ جَائِزَةٌ فِي النِّكَاحِ،
وَلَا يَلْزَمُ مِنْ جَوَازِهَا جَوَازُ كِرَائِهَا وَالرَّاجِحُ أَنَّ الدُّفَّ
وَالْكَبَرَ جَائِزَانِ لِعُرْسٍ مَعَ كَرَاهَةِ الْكِرَاءِ، وَأَنَّ الْمَعَازِفَ
حَرَامٌ كَالْجَمِيعِ فِي غَيْرِ النِّكَاحِ فَيَحْرُمُ كِرَاؤُهَا.
Dikatakan: boleh
dimainkan dalam pernikahan. Pembolehan itu tidaklah lantas boleh juga
disewakan. Pendapat yang lebih kuat adalah rebana dan gendang itu boleh
dimainkan ketika pesta, namun makruh menyewanya, sesungguhnya semua alat-alat
musik haram dimainkan di luar nikah, maka haram juga menyewa di luar nikah. (Hasyiah Ad-Dasuqi
'Ala Syarhil Kabir, 4/18)
11. Imam Abu Muhammad
Al-Qairuwani Al-Maliki Rahimahullah
Beliau mengatakan:
ولا يحل لك أن تتعمد سماع الباطل كله ولا
أن تتلذذ بسماع كلام امرأة لا تحل لك ولا سماع شيء من الملاهي والغناء.
Tidak dihalalkan
bagimu menyengaja mendengarkan kebatilan (kesia-siaan) semuanya, dan jangan
pula menikmati suara ucapan perempuan, itu tidak halal bagimu, dan tidak pula
halal mendengarkan alat-alat musik dan nyanyian. (Imam Abu Muhammad
Al-Qairuwani, Ar-Risalah, Hal. 154)
12. Imam Ibnu Rusyd
Al-Maliki Rahimahullah
Beliau mengatakan:
ولا يجوز تعمد حضور شيء من اللهو واللعب،
ولا من الملاهي المطربة كالطبل والزمر وما كان في معناه.
Tidak boleh
menyengaja hadir ke tempat hiburan, permainan, dan juga alat-alat musik yang
diiringi nyanyian, seperti seruling, dan apa-apa yang semakna. (Al-Muqaddimat,
3/462)
Tapi Beliau juga
mengatakan:
ورخص من ذلك في النكاح الدف وهو الغربال
باتفاق، والكبر والمزهر على ثلاثة أقوال: إباحتها جميعا، وكراهتهما جميعا، وإباحة
الكبر دون المزهر، قيل: للنساء دون الرجال، وقيل: للنساء والرجال. واختلف هل هو من
قبيل المباح الذي يستوي فعله وتركه، أو هو من قبيل المباح الذي تركه أحسن من فعله
وبالله التوفيق.
Diringankan musik
pada pernikahan seperti rebana, menurut kesepakatan ulama, ada pun gendang dan
kecapi ada tiga pendapat: 1. boleh semua, 2. makruh keduanya, 3. membolehkan
gendang, tapi tidak bagi kecapi. Ada yang mengatakan: boleh bagi wanita, laki-laki
tidak. Ada yang bilang: boleh bagi wanita dan laki-laki juga. Juga terdapat
perbedaan, apakah dari sisi kebolehannya itu sama saja antara memainkan dan
meninggalkannya, ataukah meninggalkannya lebih baik dibanding memainkannya. (Ibid)
13. Imam Al-Haramain
Asy-Syafi'i Rahimahullah
والبداية في هذا الفن بتحريم المعازف
والأوتار، وكلها حرام، وهي ذرائع إلى كبائر الذنوب. وفي اليراع وجهان. ولا يَحْرم
ضربُ الدف إذا لم تكن عليه جلاجل، فإن كان، فوجهان. وكان شيخي يقطع بتحريم.
Awal dari masalah ini
adalah pengharaman atas alat-alat musik, senar, dan semua alat musik, hal itu
merupakan tindakan preventif dari dosa-dosa besar. Pada klarinet ada dua
pendapat. Tidak diharamkan memukul rebana jika tidak terdapat lonceng, jika ada
lonceng, maka ada dua pendapat, sedangkan guruku menilainya itu haram. (Nihayatul
Mathlab fi Dirayatil Madzhab, 19/22)
14. Imam An-Nawawi
Asy-Syafi'i Rahimahullah
Beliau mengatakan:
آلَاتُ الْمَلَاهِي كَالْبَرْبَطِ
وَالطُّنْبُورِ وَغَيْرِهِمَا، وَكَذَا الصَّنَمُ وَالصَّلِيبُ، لَا يَجِبُ فِي
إِبْطَالِهَا شَيْءٌ، لِأَنَّهَا مُحَرَّمَةُ الِاسْتِعْمَالِ، وَلَا حُرْمَةَ
لِتِلْكَ الصَّنْعَةِ.
Alat-alat musik
seperti tamburin dan lainnya, begitu pula berhala dan salib, tidaklah ada
kewajiban ganti rugi apa pun ketika membatalkannya (dalam jual beli), sebab itu
adalah benda-benda yang diharamkan untuk dimanfaatkan dan itu bukanlah benda
yang terhormat.
(Raudhatuth Thalibin, 5/17)
Tegas Imam An-Nawawi mengatakan alat-alat musik adalah
benda Al-Muharramah (yang diharamkan). Beliau juga mengatakan:
ويكره الغناء بلا آلة وسماعه ويحرم
استعمال آلة من شعار الشربة كطنبور وعود وصنج ومزمار عراقي وإسماعها لا يراع في
الأصح. قلت: الأصح تحريمه والله أعلم.
Dimakruhkan
mendengarkan nyanyian yang tanpa alat musik. Diharamkan memainkan dan
mendengarkan alat musik yang biasa dipakai sebagai simbol para peminum seperti
tamburin, kecapi, shanju, seruling Iraq dan mendengarkannya tanpa yara'. Aku
berkata: yang benar yara' (semacam seruling) adalah haram. Wallahu A'lam. (Minhajuth
Thalibin, 1/345)
15. Imam Al-Ghazali
Asy-Syafi'i Rahimahullah
Beliau mengatakan:
المعازف والأوتار حرَام لِأَنَّهَا تشوق
إِلَى الشّرْب وَهُوَ شعار الشّرْب فَحرم التَّشَبُّه بهم وَأما الدُّف إِن لم يكن
فِيهِ جلاجل فَهُوَ حَلَال ضرب فِي بَيت رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم وَإِن كَانَ فِيهِ جلاجل فَوَجْهَانِ وَفِي اليراع
وَجْهَان وَالأَصَح أَنه لَا يحرم والمزمار الْعِرَاقِيّ حرَام لِأَنَّهُ عَادَة
أهل الشّرْب.
Alat-alat musik dan
senar adalah haram, sebab hal tersebut dapat membangkitkan seseorang untuk
minum (khamr), dan itu merupakan syi'arnya para peminum, dan diharamkan
menyerupai mereka. Ada pun rebana jika tidak ada lonceng maka itu boleh, itu
pernah dimainkan di rumah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, tapi jika
ada loncengnya maka ada dua pendapat, dan jika memiliki yara' (semacam
seruling) juga ada dua pendapat, dan yang benar adalah tidak diharamkan,
sedangkan seruling Iraq adalah haram karena itu biasa dimainkan oleh para
peminum khamr.
(Al-Wasith fil Madzhab, 7/350)
Kita lihat Imam Al-Ghazali
mengharamkan semua alat musik dan yang memiliki senar (gitar, biola, kecapi, ukulele,
harpa, dan semisalnya), kecuali untuk rebana, beliau membolehkannya, termasuk
rebana yang memiliki lonceng dan yara' Beliau memilih tidak
mengharamkannya, kecuali seruling Iraq. Imam Zakaria Al-Anshari menyebut yara'
adalah Asy-Syababah (klarinet).
16. Imam Abul Hasan
Al-Mawardi Asy-Syafi'i Rahimahullah
Beliau mengatakan:
فَأَمَّا الْحَرَامُ: فَالْعُودُ
وَالطُّنْبُورُ وَالْمِعْزَفَةُ وَالطَّبْلُ وَالْمِزْمَارُ وَمَا أَلْهَى
بِصَوْتٍ مُطْرِبٍ إِذَا انْفَرَدَ.
Ada pun yang
diharamkan adalah kecapi, tamburin, gendang, seruling, dan suara nyanyian apa
saja yang melalaikan biar pun sendirian. (Al-Hawi Al-Kabir, 17/191)
17. Imam Ibnu
Taimiyah Al-Hambali Rahimahullah
Beliau mengatakan:
فَأَمَّا الْمُشْتَمِلُ عَلَى
الشَّبَّابَاتِ وَالدُّفُوفِ المصلصلة فَمَذْهَبُ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ
تَحْرِيمُهُ.
Ada pun musik yang
mencakup klarinet dan rebana maka madzhab imam yang empat mengharamkannya. (Majmu' Al-Fatawa,
11/535)
18. Imam Ibnu Qudamah
Al-Hambali Rahimahullah
Beliau menegaskan
musik ada tiga hukum, haram, mubah, dan makruh, berikut ini rinciannya:
فِي الْمَلَاهِي: وَهِيَ عَلَى ثَلَاثَةِ
أَضْرُبٍ؛ مُحَرَّمٌ، وَهُوَ ضَرْبُ الْأَوْتَارِ وَالنَّايَاتُ، وَالْمَزَامِيرُ
كُلُّهَا، وَالْعُودُ، وَالطُّنْبُورُ، وَالْمِعْزَفَةُ، وَالرَّبَابُ،
وَنَحْوُهَا، فَمَنْ أَدَامَ اسْتِمَاعَهَا، رُدَّتْ شَهَادَتُهُ؛ لِأَنَّهُ
يُرْوَى عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: «إذَا ظَهَرَتْ فِي أُمَّتِي خَمْسَ عَشْرَةَ
خَصْلَةً، حَلَّ بِهِمْ الْبَلَاءُ». فَذَكَرَ مِنْهَا إظْهَارَ الْمَعَازِفِ
وَالْمَلَاهِي.
Tentang musik, ada
tiga jenis: Diharamkan, yaitu memainkan musik yang bersenar, semua jenis
seruling, kecapi, tamburin, mi'zafah, rebab, dan semisalnya. Barang siapa yang
rutin mendengarkannya maka dia tertolak kesaksiannya. Sebab diriwayatkan dari
Ali bin Thalib Radhiallahu 'Anhu, dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, "Jika
muncul pada umatku 15 hal, maka bencana halal bagi mereka." lalu Nabi
menyebutkan salah satunya adalah alat-alat musik dan hiburan. (Al-Mughni,
10/153)
Ada pun jenis yang
boleh adalah rebana pada saat pernikahan dan hari-hari yang menyenangkan,
diluar itu makruh. Katanya:
وَضَرْبٌ مُبَاحٌ؛ وَهُوَ الدُّفُّ؛
فَإِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «أَعْلِنُوا
النِّكَاحَ، وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالدُّفِّ». أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ. وَذَكَرَ
أَصْحَابُنَا، وَأَصْحَابُ الشَّافِعِيِّ، أَنَّهُ مَكْرُوهٌ فِي غَيْرِ
النِّكَاحِ؛ لِأَنَّهُ يُرْوَى عَنْ عُمَرَ، أَنَّهُ كَانَ إذَا سَمِعَ صَوْتَ
الدُّفِّ، بَعَثَ فَنَظَرَ، فَإِنْ كَانَ فِي وَلِيمَةٍ سَكَتَ، وَإِنْ كَانَ فِي
غَيْرِهَا، عَمَدَ بِالدُّرَّةِ. وَلَنَا، مَا رُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْهُ، فَقَالَتْ: إنِّي نَذَرْت
إنْ رَجَعْت مِنْ سَفَرِك سَالِمًا، أَنْ أَضْرِبَ عَلَى رَأْسِك بِالدُّفِّ.
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَوْفِ بِنَذْرِك».
رَوَاهُ أَبُو دَاوُد.
وَلَوْ كَانَ مَكْرُوهًا لَمْ
يَأْمُرْهَا بِهِ وَإِنْ كَانَ مَنْذُورًا. وَرَوَتْ الرُّبَيِّعُ بِنْتُ
مُعَوِّذٍ، قَالَتْ: «دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ صَبِيحَةَ بُنِيَ بِي، فَجَعَلَتْ جُوَيْرِيَّاتٌ يَضْرِبْنَ بِدُفٍّ
لَهُنَّ، وَيَنْدُبْنَ مَنْ قُتِلَ مَنْ آبَائِي يَوْمَ بَدْرٍ، إلَى أَنْ قَالَتْ
إحْدَاهُنَّ: وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا فِي غَدٍ. فَقَالَ: دَعِي هَذَا،
وَقُولِي الَّذِي كُنْت تَقُولِينَ» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Jenis yang mubah adalah,
memukul rebana, karena Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, "Beritakanlah
pernikahan dan pukullah rebana." (HR. Muslim). Sahabat-sahabat kami (Hanabilah),
dan sahabat-sahabat Syafi'i (Syafi'iyah) menyebutkan bahwa rebana makruh jika
diselain pernikahan, sebab diriwayatkan dari Umar bahwa jika dia mendengar
suara rebana maka dia bangun dan memandanginya, tapi jika itu terjadi dalam
pesta maka Beliau diam. Bagi kami, apa-apa yang diriwayatkan oleh Nabi
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bahwa ada seorang wanita datang kepadanya dan
berkata: Saya bernadzar jika engkau (Nabi) pulang dari safar dalam keadaan
selamat saya akan memainkan rebana dihadapanmu. Nabi Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam menjawab, "Penuhi nadzarmu." (HR. Abu Daud)
Seandainya itu (memukul
rebana) makruh tentu Nabi tidak akan memerintahkannya untuk memukulnya,
walaupun itu dalam bentuk nadzar. Ar-Rubayyi' binti Mu'awwidz mengatakan, "Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam masuk ke rumahku pada pagi hari, maka ada dua
budak wanita yang memukul-mukul rebana, lalu menyenandungkan lagu tentang
peristiwa ayah-ayah kami saat Perang Badar, sampai salah satu di antara mereka
berkata: Di tengah kita hadir seorang Nabi yang mengetahui hari esok.
Rasulullah bersabda, "Tinggalkan kata-kata itu, katakanlah yang lainnya
yang ingin kau katakan." (Ibid)
Imam Ibnu Qudamah
menjelaskan musik yang makruh, yaitu jika dimainkan oleh kaum laki-laki, sebab
itu merupakan penyerupaan terhadap wanita dan banci. Menurutnya, kaum wanitalah
yang memainkan rebana sebagaimana riwayat-riwayat yang ada, bukan kaum laki-laki.
Berikut ini
penjelasannya:
أَمَّا الضَّرْبُ بِهِ لِلرِّجَالِ
فَمَكْرُوهٌ عَلَى كُلِّ حَالٍ؛ لِأَنَّهُ إنَّمَا كَانَ يَضْرِبُ بِهِ
النِّسَاءُ، وَالْمُخَنَّثُونَ الْمُتَشَبِّهُونَ بِهِنَّ، فَفِي ضَرْبِ
الرِّجَالِ بِهِ تَشَبُّهٌ بِالنِّسَاءِ، وَقَدْ لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنْ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ. فَأَمَّا
الضَّرْبُ بِالْقَضِيبِ، فَمَكْرُوهِ إذَا انْضَمَّ إلَيْهِ مُحَرَّمٌ أَوْ
مَكْرُوهٌ، كَالتَّصْفِيقِ وَالْغِنَاءِ وَالرَّقْصِ، وَإِنْ خَلَا عَنْ ذَلِكَ
كُلِّهِ لَمْ يُكْرَهْ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِآلَةٍ وَلَا بِطَرِبٍ، وَلَا يُسْمَعُ
مُنْفَرِدًا.
Ada pun laki-laki
memukul rebana, itu makruh dalam segala keadaan. Karena dahulu itu dimainkan
oleh kaum wanita. Itu merupakan kebancian dan peniruan terhadap kaum wanita. Maka,
laki-laki yang memainkan rebana itu adalah tasyabbuh terhadap wanita. Dan, Nabi
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam telah melaknat kaum laki-laki yang menyerupai
kaum wanita. Sedangkan memukul batang pohon makruhnya jika dibarengi hal-hal
yang haram seperti tepuk tangan, menyanyi, dan menari. Jika tidak dibarengi
itu, tidak makruh sebab itu bukan alat musik dan tidak bisa didengar secara
sendiri.
(Ibid, 10/155)
19. Syeikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syeikh Al-Hambali
Rahimahullah
Beliau menyatakan
keharaman berobat dengan mendengarkan alat-alat musik. Berikut ini
keterangannya:
)ويحرم) التداوي،
(بمحرم أكلاً وشرباً، وصوت ملهاة) يحرم أن يشرب حراماً تداويا به، أو يأكل حراماً
تداوياً به، أو يتداوى بصوت ملهاة: مثل الطبل، أو دف، أو مزمار، أو غير ذلك من
الملاهي الكثيرة؛ فهو منهي عنه.
(Diharamkan) berobat
(dengan yang haram baik makanan atau minuman dan suara hiburan) diharamkan
menggunakan minuman haram sebagai obat, atau memakan makanan haram sebagai
obat, atau berobat dengan suara hiburan seperti: gendang, rebana, seruling,
atau alat musik lainnya yang begitu banyak, maka hal itu terlarang. (Selesai
kutipan dari Syeikh Ibrahim)
Kemudian Beliau
mengutip Surat Luqman ayat 6 (Dan di antara manusia (ada) orang yang
mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari
jalan Allah tanpa pengetahuan), lalu memberikan penjelasan:
فدخل في ذلك الملاهي كلها، فيحرم حضورها
فهي من جملة المحرمات التي ليس فيها شفاء، بل كثير من المحرمات تزيد الداء داء.
Maka, yang termasuk
lahwul hadits adalah semua alat-alat hiburan, diharamkan menghadirkannya sebab
secara global itu adalah termasuk keumuman hal-hal yang diharamkan, itu bukan
obat bahkan banyak melakukan perkara-perkara yang diharamkan justru menambah
penyakit.
(Syarh Kitab Adab Al-Musyi, Hal. 169)
E. Kesimpulan
Terhadap Pihak Yang Mengharamkan
Demikianlah deretan
imam kaum muslimin yang nama-nama mereka telah menjadi rujukan umat Islam di
berbagai belahan dunia. Nama-nama ini sudah cukup mewakili ulama lain yang
sepaham dengan mereka, dan nama-nama ini masih sebagian kecil saja, mungkin
masih ada puluhan, ratusan bahkan ribuan ulama yang mengharamkannya.
Dari berbagai
komentar mereka, maka pada posisi yang mengharamkan bisa kita simpulkan sebagai
berikut:
[1]Semua alat musik pada
dasarnya haram baik alat musik tiup, pukul, gesek, dan sebagainya. Semisal
seruling dan beragam jenisnya, gendang, kecapi, gitar, dan sebagainya.
[2]Dikecualikan rebana
dalam pesta pernikahan, hari raya, dan suasana gembira seperti pulang dari
peperangan dan bepergian, selain momen itu makruh, ada pula yang mengharamkan.
Ada pun Imam Al-Ghazali membolehkan rebana yang memiliki lonceng, bahkan
klarinet. Namun dalam hal ini Beliau dikoreksi oleh yang lainnya seperti Imam
An-Nawawi.
[3]Pembolehan terhadap
rebana hanya bagi wanita, ada pun bagi laki-laki makruh sebab itu menyerupai
wanita dan banci.
[4]Musik-musik yang
biasa dimainkan ahli maksiat juga haram, bahkan Imam Al-Ghazali dan para ulama
yang membolehkan musik juga mengharamkan ini.
[5]Mendengarkan secara
sengaja adalah maksiat bahkan fasik menurut sebagian mereka, dan hanyut dalam
musik adalah kufur.
[6]Para penikmat musik
tertolak kesaksiannya.
F. Para Ulama Yang Membolehkan
Berikut ini adalah hujjah
pihak yang membolehkan alat-alat musik:
1. Dalil-Dalil Dari
Al-Qur'an
Pertama, Surat Al-Baqarah
ayat 29:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي
الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ
سَمَاوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ.
Dialah Allah, yang
menjadikan semua yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan)
langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala
sesuatu.
(Al-Baqarah: 29)
Ayat ini menunjukkan
bahwa seluruh yang ada di bumi ini Allah Ta’ala
ciptakan untuk manusia, adalah hal yang tidak relevan dan kontradiksi, jika
Allah Ta’ala menciptakan seluruh yang
di muka bumi ini untuk manusia di satu sisi, tapi di sisi lain Dia haramkan
kebanyakannya bagi manusia pula. Maha Suci Allah dari hal yang seperti itu.
Sehingga ayat ini menegaskan bahwa antara halal dan haram lebih banyak yang
halal, antara suci dan najis lebih banyak yang suci. Bagi mereka, keindahan
yang bisa dirasakan, dilihat, dan dinikmati, -- musik termasuk di dalamnya --
adalah hal-hal yang mubah yang mencakup kalimat: .... Dialah Allah, yang
menjadikan semua yang ada di bumi untuk kamu ....
Imam Asy-Syaukani Rahimahullah
menjelaskan:
قال ابن كيسان: خلق لكم أي من أجلكم،
وفيه دليل على أن الأصل في الأشياء المخلوقة الإباحة حتى يقوم دليل يدل على النقل
عن هذا الأصل، ولا فرق بين الحيوانات وغيرها مما ينتفع به من غير ضرر.
Berkata Ibnu Kaisan:
menciptakan untuk kalian yaitu (Allah menciptakan) karena kalian, dalam ayat
ini terdapat dalil bahwa hukum asal segala sesuatu yang berupa makhluk ciptaan
adalah boleh, sampai adanya dalil yang menunjukkan perubahan hukum asal ini.
Tidak ada bedanya antara hewan dan selainnya, yang termasuk apa-apa yang bermanfaat
dan tidak membawa kerusakan. (Fathul Qadir, 1/71-72)
Bagi mereka, tidak
ada dalil yang secara tegas dan jelas mengharamkan musik, khususnya Al-Qur'an. Ada
pun dalam As-Sunnah ada beberapa hadits yang shahih tapi tidak sharih
(jelas), ada yang sharih tapi tidak shahih. Sehingga Imam Ibnul 'Arabi
Al-Maliki Rahimahullah mengatakan tak ada di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah
tentang pengharaman lagu dan musik. (Ahkamul Qur'an, 3/1053)
Tidak ada yang
diharamkan kecuali oleh nash yang shahih dan sharih (jelas
dan tegas) dalam kitab Allah Ta’ala
dan Sunah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Jika tidak ada dalam
keduanya, tidak ada dalam ijma', atau yang ada hanya nash yang shahih
tapi tidak sharih, atau sharih tapi tidak shahih, maka ia
tetap dalam batas kemaafan Allah Ta’ala
yang luas dan lapang. Jika memang musik haram, tidak mungkin Allah Ta’ala tidak menjelaskannya secara
terang dalam kitabNya, dan mustahil pula Allah Ta’ala lupa menerangkannya. Sebab Allah Ta’ala sudah berfirman:
....وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا
حَرَّمَ عَلَيْكُمْ....
.... Padahal
Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu
....
(Al-An'am: 119)
Dan, kenyataannya
menurut kelompok ini, kita tidak temukan satu pun ayat yang lugas tentang
pengharamannya, maka tetaplah musik termasuk dalam kategori yang didiamkanNya
dan dimaafkanNya. Jika begini keadaannya maka berlaku hukum asal (bara'atul
ashliyah) bahwa segala sesuatu pada dasarnya adalah mubah. Para ulama
menegaskan bahwa menetapkan keharaman membutuhkan kelugasan dan keshahihan dari
nash tanpa keraguan dan syubhat. Ada pun dalam menetapkan
kebolehan, sudah cukup dengan ketiadaan dalil pengharaman, dan bebas dari dharar
(kerusakan), tanpa harus adanya kata-kata 'halal' dan 'mubah'. Ketiadaan dalil
larangan atas sesuatu, sudah cukup kebolehan sesuatu itu.
Sebagaimana sabda
Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam:
الحلال ما أحل الله في كتابه والحرام ما
حرم الله في كتابه وما سكت عنه فهو مما عفا عنه.
Yang halal adalah apa
yang Allah halalkan dalam kitabNya, yang haram adalah yang Allah haramkan dalam
kitabNya, dan apa saja yang di diamkanNya, maka itu termasuk yang dimaafkan. (HR. At-Tirmidzi No.
1726, katanya: hadits gharib, Ibnu Majah No. 3367, dan Ath-Thabarani
dalam Al-Mu'jam Al-Kabir No. 6124. Syaikh Al-Albani mengatakan: hasan.
Lihat Shahih wa Dhaif Sunan At-Tirmidzi No. 1726. Juga dihasankan oleh
Syaikh Baari' 'Irfan Taufiq dalam Shahih Kunuz As-Sunnah An Nabawiyah,
Bab Al-Halal wal Haram wal Manhi 'Anhu, No. 1)
Oleh karena itu, Imam
Al-Fakihani Rahimahullah mengatakan - sebagaimana dikutip oleh Imam Asy-Syaukani:
لَمْ أَعْلَمْ فِي كِتَابِ اللَّهِ وَلَا
فِي السُّنَّةِ حَدِيثًا صَحِيحًا صَرِيحًا فِي تَحْرِيمِ الْمَلَاهِي.
Tidak aku ketahui
dalam Kitabullah dan As-Sunnah hadits yang shahih dan lugas tentang pengharaman
musik.
(Nailul Authar, 8/117)
Kedua, Surat Al-A'raf
ayat 147:
وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ
وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالْأَغْلَالَ
الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ.
Dan menghalalkan bagi
mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan
membuang dari mereka beban-beban dan belenggu yang ada pada mereka. (Al-A’raf: 157)
Ayat ini menunjukkan
bahwa syariat menghalalkan segala hal yang baik. Ath-Thayyibat (segala
yang baik) adalah meliputi segala hal yang baik, tidak dibatasi, dan Ath-Thayyibat
menurut mayoritas biasanya identik dengan hal-hal yang bisa dinikmati, thahir
(suci) dan halal.
Imam Asy-Syaukani
mengatakan, makna Ath-Thayyibat adalah المستلذات - Al-Mustalladzdzaat
(hal-hal yang bisa dinikmati). (Fathul Qadir, 2/287). Al-Qadhi Abu
Muhammad Rahimahullah juga mengatakan Ath-Thayyibat adalah hal-hal
yang bisa dinikmati. (Tafsir Ibnu 'Athiyah, 2/228). Imam Abul Qasim Al-Kalbi
mengatakan bahwa dalam madzhab Imam Syafi'i, Ath-Thayyibat adalah Al-Mustalladzdzaat.
(At-Tas-hil Li 'Ulumit Tanzil, 1/309)
Imam Ar-Radzi Rahimahullah
menjelaskan tentang ayat-ayat semisal ini:
ونص في هذه الآيات الكثيرة على إباحة
المستلذات والطيبات فصار هذا أصلا كبيرا.
Nash pada ayat-ayat
yang banyak ini menunjukkan kebolehan hal-hal yang bisa dinikmati dan baik-baik,
dan ini menjadi hal pokok yang besar. (Mafatih Al-Ghaib, 11/290)
Nah, bagi mereka,
musik termasuk hal-hal yang bisa dinikmati, sehingga dia termasuk keumuman
makna Ath-Thayyibat yang Allah Ta’ala
halalkan. Sebagaimana ayat:
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ
قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ.
Mereka bertanya
kepadamu: "Apa sajakah yang dihalalkan bagi mereka?" Katakanlah, "Dihalalkan
bagimu yang baik-baik (Ath Thayyibat)." (Al-Maidah: 4)
Justru Allah Ta’ala mengecam sikap melampaui batas,
yaitu mengharamkan Ath-Thayyibat, sebagaimana firmanNya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ
اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ.
Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan
bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Al-Maidah: 87)
Ketiga, Surat
Al-Jumu'ah ayat 11:
وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا
انْفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا قُلْ مَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ مِنَ
اللَّهْوِ وَمِنَ التِّجَارَةِ وَاللَّهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ.
Dan apabila mereka
melihat perniagaan atau permainan (lahwun), mereka bubar untuk menuju kepadanya
dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah, "Apa
yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan", dan
Allah Sebaik-baik pemberi rezki. (Al-Jumu’ah: 11)
Sebab turunnya ayat
ini, adalah -- sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam At-Tirmidzi,
Imam Ahmad dan lainnya dengan riwayat yang saling melengkapi -- bahwa ketika
datangnya kafilah dagang yang telah ditunggu-tunggu oleh orang-orang Islam
(saat itu sedang mendengarkan Nabi khutbah), mereka tiba dengan membawa barang-barang
dagangan, maka serta merta kaum muslimin menyambutnya dengan nyanyian dan tabuh-tabuhan,
sebagai ungkapan rasa senang atas kedatangan kafilah tersebut dengan selamat,
juga sebagai ungkapan harapan mereka agar barang dagangannya bisa menghasilkan
dan keuntungan yang banyak.
Karena itu, mereka
berebut mengambil dagangan, sehingga Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam yang sedang khutbah mereka tinggalkan, dalam riwayat lain disebutkan
sampai-sampai yang tersisa dari jam'ah Shalat Jum'at hanya dua belas orang
saja.
Lihatlah ayat
tersebut, Allah Ta’ala menyebut
permainan dan perniagaan dalam satu susunan kalimat, lalu kenapa hanya nyanyian
saja yang diharamkan, sedang perniagaan tidak? Padahal keduanya saat itu telah
memalingkan mereka dari Shalat Jum'at. Jadi, sebenarnya yang diharamkan
bukanlah permainan dan perniagaannya secara zat atau perbuatan, melainkan jika
sudah membawa efek 'melalaikannya' itu, dan tentunya tidak semua orang seperti
itu, dengan kata lain tergantung orangnya masing-masing. Dalam kisah di atas
pun tidak semua sahabat Nabi berpaling, masih ada dua belas orang yang
mendengarkan khutbah Nabi.
Maka, kenyataan ini jelas bahwa masing-masing orang berbeda keadaannya; ada
yang bisa melalaikan ada pula yang tidak.
Kemudian, bagian ayat
pada Surat Jumu’ah di atas, yang berbunyi: Katakanlah, "Apa yang di
sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan" merupakan
kalimat yang berfungsi optional (pilihan) dan pembanding, tidak ada kaitannya
dengan pengharaman atas permainan (lahwun) dan perdagangan. Ayat itu
menegaskan bahwa pada sisi Allah Ta’ala
yakni menunaikan Shalat Jum'at adalah lebih baik dari pada permainan dan
perdagangan.
Keempat, Surat
Muhammad ayat 36:
إِنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ
وَلَهْوٌ وَإِنْ تُؤْمِنُوا وَتَتَّقُوا يُؤْتِكُمْ أُجُورَكُمْ وَلَا
يَسْأَلْكُمْ أَمْوَالَكُمْ.
Sesungguhnya
kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau. Dan jika kamu beriman dan
bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia tidak akan meminta
harta-hartamu.
(Muhammad: 36)
Juga ayat lainnya:
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ
الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي
الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ....
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya
kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan
bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta
dan anak, ....
(Al-Hadid: 20)
Bagi pihak yang
membolehkan, ayat ini merupakan dalil kebolehan musik. Pihak yang mengharamkan
menganggap musik adalah sesuatu yang melalaikan, sebagaimana permainan lainnya.
Namun ayat ini menyanggah pemahaman tersebut, sesungguhnya tidaklah suatu
permainan dan senda gurau itu lantas secara otomatis menjadi sesuatu yang
haram. Sebab, jika memang musik haram karena dia permainan yang melalaikan,
maka bukan hanya musik, melainkan dunia seluruh dan isinya juga haram, sebab
dunia adalah permainan dan senda gurau yang melalaikan. Oleh karena itu, bagi
kelompok yang membolehkan, musik tidak bisa dipukul rata haram atau mubah, dia
bisa haram atau mubah tergantung keadaannya.
Kelima, Surat Luqman
ayat 6:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ
الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا
هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ.
Dan di antara manusia
(ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan
(manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu
olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. (Luqman: 6)
Sebagaimana
penjelasan yang telah lalu, ayat ini -- khususnya kalimat lahwul hadits
(perkataan tak berguna) -- ditafsirkan oleh para sahabat seperti Ibnu Mas'ud,
Ibnu Abbas, Jabir bin Abdillah, 'Ikrimah, dan sebagainya adalah nyanyian.
Sementara dalam Tafsir As-Sam'ani --mengutip dari kitab Al-Akhbar Al-Musnadah --
disebutkan bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sendiri yang
menjelaskan bahwa itu adalah alat musik dan wanita penyanyi (Lihat Tafsir As-Sam'ani,
4/226), tetapi riwayat ini tidak memiliki sanad sehingga tidak bisa
dipertanggungjawabkan keautentikannya dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam, dan tidak bisa dijadikan hujjah.
Perlu diketahui,
tafsiran bahwa lahwul hadits adalah lagu, musik, bukanlah satu-satunya
tafsiran yang bersifat final. Imam Asy-Syaukany, dalam Fathul Qadir-nya
mengatakan bahwa maksud lahwul hadits adalah apa-apa yang bisa
melalaikan dari kebaikan, bisa berupa nyanyian, pemainan, perkataan dusta, dan
segala yang munkar. Ia meriwayatkan bahwa Imam Hasan Al-Bashri menafsiri
makna lahwul hadits adalah ma'azif (alat-alat musik) dan ghina'
(nyanyian), tetapi juga diriwayatkan darinya, bahwa maksud lahwul hadits
adalah kufr (kekafiran) dan syirk (kesyirikan).
Kalimat, "Li yudhilla
(untuk menyesatkan (manusia) ...." menunjukkan bahwa huruf lam
pada kata li yudhilla berfungsi sebagai lam ta'lil (lam
yang menunjukkan sebab - 'illat hukum). Demikian dalam Fathul Qadir.
Jadi, sebenarnya,
perilaku apa saja -- bukan hanya nyanyian dan musik -- jika bertujuan untuk
menyesatkan manusia dari jalan Allah Ta’ala,
jelas perbuatan tersebut adalah haram. Mafhum mukhalafah (pemahaman
implisit)nya adalah jika tidak ada maksud menyesatkan manusia, maka tidak
mengapa.
Imam Ibnu Jarir At-Thabari
menegaskan dalam tafsirnya, dari Ibnu Wahhab, bahwa Ibnu Zaid mengatakan ayat "Dan
di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkatan yang tidak berguna
...." maksudnya adalah orang-orang kafir. Tidakkah memperhatikan bunyi
ayat selanjutnya:
وَإِذَا تُتْلَىٰ عَلَيْهِ آيَاتُنَا
وَلَّىٰ مُسْتَكْبِرًا كَأَن لَّمْ يَسْمَعْهَا كَأَنَّ فِي أُذُنَيْهِ وَقْرًا
فَبَشِّرْهُ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ.
Dan apabila dibacakan
kepadanya ayat-ayat Kami, dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia
belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar
gembiralah dia dengan azab yang pedih. (Luqman: 7)
Manusia yang
diceritakan dalam ayat ini, jelas bukan berkepribadian muslim dan bukan seorang
muslim. Memang, sebagian ada yang membantah itu, menurut mereka ini juga
berlaku untuk orang Islam. Dan lahwul hadits merupakan perkataan batil
(sia-sia) yang mereka gunakan untuk kelalaian. (Imam Abu Ja’far Ibnu Jarir Ath-Thabari,
Jami'ul Bayan, 1/41, tafsir Surat Luqman)
Imam Ibnul 'Athiyah Rahimahullah
menyebutkan:
والذي يترجح أن الآية نزلت في لهو حديث
منضاف إلى كفر فلذلك اشتدت ألفاظ الآية بقوله: لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَها هُزُواً، والتوعد بالعذاب المهين.
Pendapat yang rajih
(kuat) adalah bahwa ayat tersebut diturunkan tentang orang-orang kafir, oleh
karena itu ungkapan ayat tersebut sangat keras yaitu "untuk menyesatkan
(manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu
olok-olokan." dan disertai ancaman siksaan yang amat hina. (Imam Ibnu 'Athiyah,
Al-Muharrar Al-Wajiz, 4/346)
Pemahaman ini juga
dikuatkan oleh Imam Fakhruddin Ar-Razi Rahimahullah dalam Mafatihul
Ghaib:
بَيَّنَ مِنْ حَالِ الْكُفَّارِ
أَنَّهُمْ يَتْرُكُونَ ذَلِكَ وَيَشْتَغِلُونَ بِغَيْرِه.
Bahwa Allah Ta’ala
sedang menceritakan keadaan orang-orang kafir, mereka meninggalkan Al-Qur'an
dan sibuk dengan selainnya. (Mafatihul Ghaib, 25/115)
Imam Ibnu Hazm telah
menyanggah tafsiran bahwa lahwul hadits adalah lagu, dan sanggahan ini
sangat masyhur dan sering diulang-ulang oleh kelompok yang membolehkan lagu dan
musik. Bantahan ini sebenarnya telah diketahui dan sudah dikoreksi pula oleh
para ulama yang mengharamkannya, tetapi nampaknya pandangan Imam Abu Muhammad
Ibnu Hazm Rahimahullah sangat kokoh sehingga bantahan-bantahan untuknya
masih bisa didiskusikan lagi.
Imam Ibnu Hazm Rahimahullah
menolak tafsiran lahwul hadits adalah nyanyian dan musik, dengan
perkataannya -- dan ini merupakan sanggahan yang sangat bagus darinya:
لَا حُجَّةَ فِي هَذَا كُلِّهِ لِوُجُوهٍ:
أَحَدُهَا: أَنَّهُ لَا حُجَّةَ لِأَحَدٍ
دُونَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ قَدْ خَالَفَ
غَيْرَهُمْ مِنْ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ.
وَالثَّالِثُ: أَنَّ نَصَّ الْآيَةِ
يُبْطِلُ احْتِجَاجَهُمْ بِهَا؛ لِأَنَّ فِيهَا {وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي
لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا
هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ} [لقمان: 6]
وَهَذِهِ صِفَةٌ مَنْ فَعَلَهَا كَانَ كَافِرًا، بِلَا خِلَافٍ، إذَا اتَّخَذَ
سَبِيلَ اللَّهِ تَعَالَى هُزُوًا.
وَلَوْ أَنَّ امْرَأً اشْتَرَى مُصْحَفًا
لِيُضِلَّ بِهِ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَيَتَّخِذُهَا هُزُوًا لَكَانَ كَافِرًا،
فَهَذَا هُوَ الَّذِي ذَمَّ اللَّهُ تَعَالَى، وَمَا ذَمَّ قَطُّ عَزَّ وَجَلَّ مَنْ
اشْتَرَى لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيَلْتَهِيَ بِهِ وَيُرَوِّحَ نَفْسَهُ، لَا
لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى، فَبَطَلَ تَعَلُّقُهُمْ بِقَوْلِ كُلِّ
مَنْ ذَكَرْنَا.
وَكَذَلِكَ مَنْ اشْتَغَلَ عَامِدًا عَنْ
الصَّلَاةِ بِقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ، أَوْ بِقِرَاءَةِ السُّنَنِ، أَوْ بِحَدِيثٍ
يَتَحَدَّثُ بِهِ، أَوْ يَنْظُرُ فِي مَالِهِ، أَوْ بِغِنَاءٍ، أَوْ بِغَيْرِ
ذَلِكَ، فَهُوَ فَاسِقٌ، عَاصٍ لِلَّهِ تَعَالَى، وَمَنْ لَمْ يُضَيِّعْ شَيْئًا
مِنْ الْفَرَائِضِ اشْتِغَالًا بِمَا ذَكَرْنَا فَهُوَ مُحْسِنٌ.
Semua perkataan
mereka tidak bisa dijadikan hujjah, karena beberapa alasan:
Pertama, perkataan
seseorang tidak bisa dijadikan hujjah kecuali perkataan Rasulullah.
Kedua, para sahabat
dan tabi'in sendiri berbeda pendapat tentang tafsir ayat tersebut.
Ketiga, nash ayat
tersebut (Luqman: 6) justru membatalkan argumentasi mereka sendiri, karena
dalam ayat tersebut berbunyi, "Dan diantara manusia ada orang yang
menggunakan perkataan yang tidak berguna (lahwul hadits) untuk menyesatkan
manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan"
ini menunjukkan bahwa yang melakukan perbuatan ini adalah kafir, jika
menjadikan jalan Allah sebagai olok-olokan, hal ini tanpa perselisihan lagi
adalah kekafiran.
Seandainya ada
seseorang membeli mushaf Al-Qur'an dengan tujuan menyesatkan manusia dari jalan
Allah dan mengolok-oloknya, maka orang tersebut kafir. Inilah yang dicela
Allah. Allah Ta’ala tidak pernah mencela sedikitpun terhadap orang yang
menggunakan perkataan sia-sia untuk tujuan sekedar hiburan atau menenangkan
diri, bukan bertujuan menyesatkan manusia dari jalan Allah. Maka terbantahlah
argumen mereka dengan ucapan mereka sendiri seperti yang telah kami sampaikan.
Demikian pula jika
seseorang yang sengaja membaca Al-Qur'an atau hadits, atau obrolan, atau lagu,
atau lainnya, sehingga melalaikan shalat, itu termasuk kefasikan dan durhaka
kepada Allah. Tetapi siapa yang tidak melalaikan atau meninggalkan kewajiban
sebagaimana yang kami katakan, maka itu tetap kebaikan. (Imam Ibnu Hazm, Al-Muhalla,
7/567)
Hujjatul Islam, Imam
Al-Ghazali Rahimahullah juga ikut memberikan sanggahan, katanya:
وأما شراء لهو الحديث بالدين استبدالاً
به ليضل به عن سبيل الله فهو حرام مذموم وليس النزاع فيه وليس كل غناء بدلاً عن
الدين مشترى به ومضلاً عن سبيل الله تعالى وهو المراد في الآية ولو قرأ القرآن
ليضل به عن سبيل الله لكان حراماً.
حكى عن بعض المنافقين أنه كان يؤم الناس
ولا يقرأ إلا سورة عبس لما فيها من العتاب مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فهم عمر بقتله ورأى فعله حراما لما فيه من الإضلال فالإضلال
بالشعر والغناء أولى بالتحريم.
Adapun makna 'menggunakan
perkataan tak berguna' untuk agama, artinya merubah hukum agama dan menyesatkan
manusia dari jalan Allah, jelas hukumnya haram dan tercela, tak ada
perselisihan tentang itu. Tidak semua nyanyian mengganti agama dan menyesatkan
dari jalan Allah, inilah yang dimaksud ayat tersebut. Seandainya membaca Al-Qur'an
untuk menyesatkan dari jalan Allah, maka jelas haram.
Hal ini diperkuat
tentang perilaku sebagian orang munafik ketika menjadi imam shalat secara
sengaja selalu membaca Surat 'Abasa karena didalamnya terdapat celaan terhadap
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, maka Umar Radhiallahu 'Anhu hendak
membunuhnya (si munafik itu), karena menilai perbuatan mereka itu haram dan
menyesatkan. Apalagi jika menyesatkannya dengan menggunakan syair dan lagu, itu
lebih utama diharamkan. (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, 2/284-285)
Kesimpulannya,
menurut para ulama ini, ayat ini tidak bisa dijadikan hujjah pengharaman
musik dan lagu yang baik-baik, dan sekedar untuk mengistirahatkan jiwa, sebab
ayat ini menunjukkan tujuan yang tercela yaitu menyesatkan manusia dari jalan
Allah Ta’ala, yang biasanya dilakukan
oleh orang kafir, fasiq, dan musuh-musuh agama. Sedangkan orang yang
mendengarkan hiburan sekedarnya saja, tidaklah seperti itu tujuannya.
Sebagaimana dikatakan Imam Ibnu 'Abidin Rahimahullah, bahwa halal dan
haramnya musik tergantung maksud dan tujuan orangnya.
Imam Ibnu 'Abidin Rahimahullah
menjelaskan:
آلة اللهو ليست محرمة لعينها بل لقصد
اللهو منها، إما من سامعها أو من المشتغل بها، ألا ترى أن ضرب تلك الآلة حل تارة
وحرم أخرى باختلاف النية؟ والأمور بمقاصدها.
Alat-alat permainan
itu bukanlah haram semata-mata permainannya, tetapi jika karenanya terjadi kelalaian
baik bagi pendengar atau orang yang memainkannya, bukankah anda sendiri
menyaksikan bahwa memukul alat-alat tersebut kadang dihalalkan dan kadang
diharamkan pada keadaan lain karena perbedaan niatnya? Sesungguhnya menilai
perkara-perkara itu tergantung maksud-maksudnya. (Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah
Al-Kuwaitiyah, 38/169)
Keenam, Ayat-ayat Al-Qur'an
yang secara umum menceritakan tentang keindahan, keserasian, dan keteraturan
penciptaan-Nya.
Kelompok ini juga
berhujjah dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang menceritakan ciptaan Allah Ta’ala yang rapi, seimbang, dan penuh
keindahan serta sedap dipandang mata. Serasi bentuk, ukuran, dan warna. Semua
ini menunjukkan bahwa keindahan, baik itu alamiah atau buatan (seperti musik),
adalah termasuk koridor ini, sebagai sesuatu yang memang bisa dinikmati sebagai
objek tafakur dan menghibur diri semata.
Di antaranya adalah
ayat-ayat berikut:
الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ
طِبَاقًا مَا تَرَى فِي خَلْقِ الرَّحْمَنِ مِنْ تَفَاوُتٍ فَارْجِعِ الْبَصَرَ
هَلْ تَرَى مِنْ فُطُورٍ.
Yang telah
menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat pada
ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Lihatlah sekali
lagi, apakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? (Al-Mulk: 3)
Ayat lain:
وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ
تَقْدِيرًا.
Dia telah menciptakan
segala sesuatu, dan menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya. (Al-Furqan: 2)
Ayat lain:
ولَقَدْ جَعَلْنا فِي السَّماءِ بُرُوجاً
وَ زَيَّنَّاها لِلنَّاظِرينَ .
Dan sesungguhnya Kami
telah menciptakan gugusan bintang-bintang di langit dan Kami telah menghiasi
langit itu bagi orang-orang yang memandang(nya). (Al-Hijr: 16)
Ayat lain:
وَ الْأَرْضَ مَدَدْناها وَ أَلْقَيْنا
فيها رَواسِيَ وَ أَنْبَتْنا فيها مِنْ كُلِّ شَيْءٍ مَوْزُونٍ.
Dan Kami telah
menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung, serta Kami tumbuhkan
padanya segala sesuatu menurut ukuran. (Al-Hijr: 19)
Dan masih banyak ayat-ayat
lain yang sejenis.
Bagi kelompok yang
membolehkan, sesungguhnya keserasian, keseimbangan, dan keindahan yang Allah Ta’ala ciptakan pada alam ini, baik pada
bentuk, ukuran, warna, suara, yang Allah Ta’ala
ciptakan pada gunung, bukit, sawah, gurun, kebun, sungai, lautan, hewan,
gemericikan air, kicauan burung di pagi hari, adalah hal yang diberikanNya
untuk manusia. Tak beda antara yang alami atau buatan, sebab prinsipnya sama,
sama-sama keindahan. Ada pun jika sudah sampai melalaikan dari mengingatNya,
maka masing-masing pribadi berbeda keadaannya. Pada kenyataannya, justru ada
yang setelah tafakur semakin shalih dan bertobat dari kesalahan
setelah merenungi kebesaranNya melalui keindahan ciptaanNya.
Oleh karena itu Imam
Ibnu Hazm Rahimahullah mengatakan:
وَمَنْ نَوَى بِهِ تَرْوِيحَ نَفْسِهِ
لِيَقْوَى بِذَلِكَ عَلَى طَاعَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَيُنَشِّطَ نَفْسَهُ
بِذَلِكَ عَلَى الْبِرِّ فَهُوَ مُطِيعٌ مُحْسِنٌ، وَفِعْلُهُ هَذَا مِنْ
الْحَقِّ، وَمَنْ لَمْ يَنْوِ طَاعَةً وَلَا مَعْصِيَةً، فَهُوَ لَغْوٌ مَعْفُوٌّ
عَنْهُ كَخُرُوجِ الْإِنْسَانِ إلَى بُسْتَانِهِ مُتَنَزِّهًا، وَقُعُودِهِ عَلَى
بَابِ دَارِهِ مُتَفَرِّجًا وَصِبَاغِهِ ثَوْبَهُ لَازَوَرْدِيًّا أَوْ أَخْضَرَ
أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ.
Dan, barang siapa
dengan hiburan bertujuan untuk mengistirahatkan jiwa dalam rangka melahirkan
kekuatan untuk ketaatan kepada Allah 'Azza wa Jalla, yang dengan itu dirinya
bisa giat dalam kebaikan, maka dia termasuk orang taat dan baik. Perbuatan ini
termasuk kebenaran. Jika dia tidak memaksudkannya sebagai ketaatan, tidak pula
untuk maksiat, maka itu adalah kelalaian yang dimaafkan seperti seseorang yang
keluar rumahnya menuju kebunnya sekedar untuk piknik, duduknya seseorang di
depan pintu rumahnya untuk santai-santai, seseorang yang mencelup pakaiannya
bukan dengan lapisan besi atau dengan hijau atau selain itu. (Al-Muhalla,
7/567)
Demikianlah dalil-dalil
global dari Al-Qur'an tentang kebolehan musik. Bagi mereka dalil-dalil
keharaman musik dari Al-Qur'an tidak satu pun yang jelas dan tegas, hanya
berdasarkan tafsir semata, itu pun masih dilemahkan lagi oleh fakta bahwa
masing-masing ahli tafsir juga berbeda pendapat yang cukup banyak. Sedangkan
dalam masalah 'pengharaman' tidak boleh berdasarkan pijakan yang abu-abu dan
tidak konsisten, melainkan harus tegas dan jelas.
2. Dalil-Dalil Dari
As-Sunnah
Berikut ini adalah
hadits-hadits yang menjadi hujjah bolehnya musik.
Hadits pertama:
وَقَالَ هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ:
حَدَّثَنَا صَدَقَةُ بْنُ خَالِدٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ
بْنِ جَابِرٍ، حَدَّثَنَا عَطِيَّةُ بْنُ قَيْسٍ الكِلاَبِيُّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ
الرَّحْمَنِ بْنُ غَنْمٍ الأَشْعَرِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنِي أَبُو عَامِرٍ أَوْ
أَبُو مَالِكٍ الْأَشْعَرِيُّ، وَاللَّهِ مَا كَذَبَنِي: سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ، لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ،
يَسْتَحِلُّونَ الحِرَ وَالحَرِيرَ، وَالخَمْرَ وَالمَعَازِفَ.
Berkata Hisyam bin 'Ammar,
berkata kepada kami Shadaqah bin Khalid, berkata kepada kami Abdurrahman bin
Yazid bin Jabir, berkata kepada kami 'Athiyah bin Qais Al-Kilabi, berkata
kepada kami Abdurrahman bin Ghanam Al-Asy'ari, dia berkata: berkata kepadaku 'Amir
atau Abu Malik Al-Asy'ari, Demi Allah tidaklah dia membohongi aku: dia
mendengar Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: Di antara umatku akan
ada suatu kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr (minuman keras), dan alat-alat
musik.
(HR. Bukhari No. 5590)
Menurut pihak yang
membolehkan, hadits ini tidak bisa dijadikan dalil haramnya musik di tiga sisi.
Pertama, pada keshahihannya. Mereka mengira hadits
ini munqathi' (terputus) sanadnya, sehingga dia dhaif.
Sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnu Hazm, dan orang-orang yang sepakat
dengannya seperti Syaikh Al-Qaradhawi.
Imam Ibnu Hazm Rahimahullah
mengatakan:
وَهَذَا مُنْقَطِعٌ لَمْ يَتَّصِلْ مَا
بَيْنَ الْبُخَارِيِّ وَصَدَقَةَ بْنِ خَالِدٍ وَلَا يَصِحُّ فِي هَذَا الْبَابِ
شَيْءٌ أَبَدًا، وَكُلُّ مَا فِيهِ فَمَوْضُوعٌ، وَوَاللَّهِ لَوْ أُسْنِدَ
جَمِيعُهُ أَوْ وَاحِدٌ مِنْهُ فَأَكْثَرَ مِنْ طَرِيقِ الثِّقَاتِ إلَى رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لَمَا تَرَدَّدْنَا فِي الْأَخْذِ بِهِ.
Hadits ini munqathi',
tidak bersambung antara Al-Bukhari dan Shadaqah bin Khalid, dalam masalah ini
selamanya tidak ada satu pun yang shahih. Semua riwayat tentang ini palsu. Demi
Allah, seandainya semuanya atau satu saja riwayat ini disandarkan kepada
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dari jalan orang-orang terpercaya maka
kami tidak akan menolaknya untuk mengambilnya sebagai dalil. (Al-Muhalla,
7/565)
Ditambah lagi, bagi
mereka, Hisyam bin 'Ammar adalah perawi yang kontroversi. Imam Abu Daud
menyatakan bahwa Beliau meriwayatkan 400 hadits yang tidak ada dasarnya. Imam
Abu Hatim mengatakan: jujur tapi dia mengalami perubahan hapalan. Sementara
Imam Yahya bin Ma'in menyatakan tsiqah (terpercaya) dan cerdas. Imam An
Nasa'i mengatakan: 'tidak apa-apa'. Imam Adz-Dzahabi mengatakan: jujur dan
memiliki riwayat yang diingkari. Ad-Daruquthni mengatakan: jujur dan besar
kedudukannya. (Mizanul I'tidal, 4/302)
Dan, pendhaifan Imam
Ibnu Hazm terhadap hadits ini telah dikritik oleh ulama lainnya seperti Imam
Ibnul Qayyim, Imam Ibnu Hajar, dan sebagainya, yang telah menguatkan kepastian
hadits ini dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dengan berbagai hujjah,
sebagaimana sudah kami sampaikan dalam pembahasan terdahulu. Silahkan kembali
merujuk.
Kedua, kalau pun hadits ini shahih,
hadits ini tidak sharih (lugas) mengharamkan. Hadits ini menyebut "Segolongan
kaum umatku akan menghalalkan Al-Hirru" yaitu kemaluan. Padahal
kemaluan ada yang dihalalkan yaitu pada jalur pernikahan, baik zaman dulu dan
sekarang. Tidak semua kemaluan diharamkan.
Hadits ini juga
menyebut Al-Hariiru yaitu sutera. Padahal sutera bagi kaum wanita boleh,
dan bagi orang yang sedang dalam penyakit kulit juga diberikan keringanan, baik
zaman dulu dan sekarang. Tidak semua sutera terlarang.
Oleh karena itu,
penyebutan pengharaman Al-Ma'azif (alat-alat musik), mesti dimaknai
seperti itu yaitu alat-alat musik dalam konteks maksiat, seperti yang terjadi
pada diskotik, atau dilakukan oleh para pemabuk secara berbarengan. Tidak semua
alat-alat musik.
Ketiga, pihak yang
mengharamkan memaknai bahwa keharaman Al-Ma'azif begitu berat, sebab
digandengkan dengan huruf wau athaf dengan perkara lain yang pasti
haramnya. Sehingga keharamannya setara dengan khamr, zina, dan sutera.
Hal ini dikoreksi oleh
pihak yang membolehkan, bahwa digandengkanya Al-Ma'azif dengan zina, khamr,
dan sutera, itu menunjukkan keharamannya jika dimainkan dicampur atau dibarengi
dengan perkara-perkara haram. Tetapi jika bersih dari itu semua tidak apa-apa.
Sebab, jika memang Al-Ma'azif itu haram, kenapa menjadi halal ketika
pernikahan dan hari raya? Apakah haram bisa menjadi halal dengan mudahnya hanya
karena beda momennya? Lalu, kenapa cuma Al-Ma'azif saja yang menjadi
halal ketika pernikahan dan hari raya, sedangkan zina, khamr, tetap
haram walau di hari raya? Kalau memang hal-hal itu setara, seharusnya bukan
cuma Al-Ma'azif tapi yang lain juga berubah menjadi boleh saat
pernikahan dan hari raya karena kesetaraannya dalam penyebutan di haditsnya.
Hadits kedua:
عَنْ
أَبِي أُمَامَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِنَّ اللهَ بَعَثَنِي رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ، وَأَمَرَنِي رَبِّي بِمَحْقِ الْمَعَازِفِ
وَالْمَزَامِيرِ وَالْأَوْثَانِ وَالصُّلُبِ، وَأَمْرِ
الْجَاهِلِيَّة ....
Dari Abu Umamah, dia
berkata: bersabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam: Sesungguhnya Allah
mengutusku sebagai rahmat dan petunjuk bagi semesta alam, Rabbku telah
memerintahkan aku untuk membinasakan alat-alat musik, seruling, berhala, salib
dan perkara jahiliyah .... (HR. Ahmad No. 22307, Ath-Thayalisi No. 1230, Ath-Thabarani
dalam Al-Kabir No. 7803, Al-Baihaqi dalam Syu'abul Iman No. 6108)
Hadits yang mulia ini
menunjukkan bahwa alat-alat musik hendak dihancurkan oleh Nabi Shallallahu 'Alaihi
wa Sallam, itu menunjukkan kebenciannya terhadapnya serta keharaman hukum
atasnya.
Namun, hadits ini
tidak bisa dijadikan hujjah, sebab dhaif jiddan (sangat lemah - invalid
text), sebagaimana dikatakan Syaikh Syu'aib Al-Arnauth, lantaran ada dua perawi
yang dhaif yaitu Faraj bin Fadhalah dan 'Ali bin Yazid. (Ta'liq
Musnad Ahmad, 36/646). Didhaifkan pula oleh Imam Abu Thayyib Syamsul Azhim.
('Aunul Ma'bud, 13/185). Didhaifkan pula oleh Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani. (Misykah Al-Mashabih, No. 3654).
Hadits ketiga:
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ، أَنَّ
رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: فِي هَذِهِ الأُمَّةِ
خَسْفٌ وَمَسْخٌ وَقَذْفٌ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ: يَا رَسُولَ
اللهِ، وَمَتَى ذَاكَ؟ قَالَ: إِذَا ظَهَرَتِ القَيْنَاتُ وَالمَعَازِفُ وَشُرِبَتِ
الخُمُورُ.
Dari 'Imran bin
Hushain, dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, "Akan datang pada umat
mereka ditenggelamkan, rupa mereka berubah, dan dilempari batu." Mereka
bertanya, "Wahai Rasulullah, kapan hal itu terjadi?" Beliau bersabda,
"Ketika nampak penyanyi wanita, musik-musik, dan diminumnya khamr." (HR. At-Tirmidzi No.
2212, katanya: hadits ini gharib, Ar-Ruyani dalam Musnadnya No. 132, dan
Ath-Thabarani dalam Al-Kabir No. 5810. Lafaz ini milik At-Tirmidzi.
Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami' No. 5467. Dihasankan oleh Imam Al-Munawi dalam At-Taisir,
2/179)
Bagi pihak yang
membolehkan, kalaupun hadits ini shahih, hadits ini tidak sharih
(tegas) dalam mengharamkan musik. Hadits ini hanyalah menceritakan fase buruk
umat Islam di akhir zaman, ketika mereka sudah tenggelam dalam dunia, yaitu
hiburan, musik, dan minuman keras. Tak berarti musik itu sendiri adalah haram.
Ini menunjukkan sikap melampaui batas umat Islam pada saat itu, mereka sibuk
dengan perkara-perkara ini, dan berpaling dari ajaran Rasulullah sehingga Allah
Ta’ala membuat mereka terbenam,
berubah, dan dilemparkan batu, sebagaimana kaum Tsamud dahulu yang terekam
dalam ayat: (Kaum) Tsamud telah mendustakan (rasulnya) karena mereka
melampaui batas. (Asy Syams: 11)
Hadits keempat:
عَنْ
أَبِي مَالِكٍ الْأَشْعَرِيِّ، عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ، لَيَشْرَبَنَّ أُنَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ، يُسَمُّونَهَا
بِغَيْرِ اسْمِهَا، وَتُضْرَبُ عَلَى رُءُوسِهِمُ الْمَعَازِفُ، يَخْسِفُ
اللهُ بِهُمُ الْأَرْضَ، وَيَجْعَلُ مِنْهُمْ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ.
Dari Abi Malik Al-Asy'ari,
dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, bersabda: Manusia di antara
umatku akan benar-benar minum khamr, mereka menamakannya dengan bukan namanya,
dipukulkan di hadapan mereka alat-alat musik, Allah membenamkan mereka di bumi,
dan menjadikan sebagian mereka sebagai kera dan babi. (HR. Al-Baihaqi, As-Sunan
Al-Kubra No. 17383 dan 20989, dengan tambahan: mughanniyat
(biduanita), Ibnu Majah No. 4020, Ath-Thabarani, Al-Kabir No. 3419.
Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ghayatul Maram No. 402)
Hadits ini jika shahih,
juga bukan hujjah untuk mengharamkan musik sekedar menghibur diri saja,
dan redaksi hadits ini menunjukkan hal itu. Musik yang tercela adalah jika
dibarengi dengan perkara yang diharamkan yaitu khamr (minuman keras). Ini
jelas disebutkan dalam hadits ini masa di mana umat ini akan mabuk-mabukan
sambil memainkan musik. Jelas sekali berbeda dengan musik-musik, atau
tetabuhan, yang dipakai oleh para prajurit, pekerja, musafir, dalam
menyemangati aktifitas mereka, sama sekali tidak ada unsur maksiat di dalamnya.
Hadits kelima:
Dari Ibnu 'Abbas Radhiallahu
'Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيَّ، أَوْ
حُرِّمَ الْخَمْرُ، وَالْمَيْسِرُ، وَالْكُوبَةُ.
Sesungguhnya Allah
haramkan atasku, atau diharamkan khamr, judi, dan Al-Kubah. (HR. Abu Daud No.
3696, Abu Ya'la No. 2729, Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra No. 20991.
Dishahihkan oleh Imam Ibnu Hibban dalam Tuhfatul Muhtaj Ila Adillatil Minhaj
No. 1792, Syaikh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah No. 2425, dan Syaikh
Syu'aib Al-Arnauth dalam Ta'liq Musnad Ahmad, 4/280. Syaikh Husein Salim
Asad dalam Musnad Abu Ya'la mengatakan: para perawinya terpercaya)
Imam Abu Daud
berkata: Sufyan bertanya kepada Ali bin Badzimah tentang Al-Kubah, dia
menjawab: Ath-Thabl - drum/gendang. (Sunan Abi Daud No. 3639)
Sementara Imam Ibnu Abi Syaibah mengatakan Al-Kubah adalah Al-'Uud -
kecapi. (Al-Mushannaf No. 24080) Imam Ibnul Atsir mengatakan: Al-Kubah
adalah Ath-Thablush Shaghir - gendang kecil. (Jami'ul Ushul,
5/97) Imam Ahmad bertanya kepada Yahya bin Ishaq, apa itu Al-Kubah?
Beliau menjawab: Thabl - drum. (Al-Badrul Munir, 9/649) Imam Muhammad
bin Katsir mengatakan, Al-Kubah adalah dadu menurut bahasa penduduk
Yaman. (Imam Abu 'Ubaid, Gharibul Hadits, 4/278)
Hadits keenam:
Dari Ibnu 'Abbas Radhiallahu
'Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمِ
الْخَمْرَ، وَالْمَيْسِرَ، وَالْكُوبَةَ.
Sesungguhnya Allah
mengharamkan atas kalian khamr, judi, dan Al-Kubah. (HR. Ahmad No. 2625.
Syaikh Syu'aib Al-Arnauth mengatakan: isnadnya shahih. Lihat Ta'liq
Musnad Ahmad, 4/381, dan Al-Baihaqi dalam Al-Adab No. 628)
Hadits ketujuh:
Dari Abdullah bin 'Amr
Radhiallahu 'Anhu, katanya:
أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَهَى عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَالْكُوبَةِ
وَالْغُبَيْرَاءِ.
Bahwa Nabi
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam melarang khamr, Al-Kubah, dan Al-Ghubaira. (HR. Abu Daud No.
3685. Abu Daud mengatakan bahwa menurut Imam Abu 'Ubaid, Al-Ghubaira
adalah minuman keras yang terbuat dari perasan jagung. Di dalam sanadnya
terdapat Al-Walid bin 'Abdah. Imam Al-Mundziri mengatakan: Walid bin 'Abdah
menurut Imam Abu Hatim adalah: majhul (tidak dikenal). Ibnu Yunus
mengatakan dalam Tarikh Al-Mishriyin bahwa Walid bin 'Abdah adalah
pelayannya Abdullah bin Amr bin Al-'Ash. Yazid bin Habib meriwayatkan hadits
darinya, dan hadits ini ma'lul - memiliki cacat. Lihat Mukhtashar,
5/268-269. Namun dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah
No. 1708)
Hadits kelima,
keenam, dan ketujuh semuanya sama, bahwa Allah Ta’ala mengharamkan minuman keras, judi,
air perasan jagung yang memabukkan (Al-Ghubaira), dan gendang (Al-Kubah).
Bagi pihak yang
membolehkan, keharaman yang disebutkan dalam hadits ini jika musik dimainkan
bersamaan dengan hal-hal yang diharamkan tersebut, seperti di tempat-tempat
berkumpulnya ahli maksiat; bar dan diskotik. Sebab, jika alat musik pukul
seperti gendang (Ath-Thabl) diharamkan secara sendiri, maka kita akan
bertemu fakta lain pada hadits lainnya kebolehan memukul alat musik pukul
lainnya seperti Ad-Duf (rebana) diwaktu pernikahan, hari raya, dan hari
bahagia. Sedangkan khamr dan judi haram dalam keadaan apa pun, berbeda
dengan alat musik pukul. Maka, kita mesti memahaminya bahwa itu diharamkan jika
dimainkan bersamaan dengan hal-hal yang diharamkan, bukan musik itu sendiri.
Hadits kedelapan:
Anas bin Malik Radhiallahu
'Anhu mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
صوتان ملعونان في الدنيا والآخرة مزمار
عند نعمة ورنة عند مصيبة.
Ada dua suara yang
dilaknat di dunia dan akhirat; suara seruling ketika mendapatkan kenikmatan dan
raungan ketika musibah. (HR. Al-Bazzar No. 7513, dan Alauddin Al-Muttaqi Al-Hindi,
Kanzul 'Ummal No. 40661 dan 40673. Syaikh Al-Albani menghasankan. Lihat Shahih
At-Targhib wat Tarhib No. 3527. Imam Al-Haitsami mengatakan: para perawinya
terpercaya. Lihat Majma'uz Zawaid, 3/13. Dihasankan pula oleh Syaikh
Abdul Malik bin Abdullah Duhaisy dalam tahqiqnya terhadap kitab Al-Ahadits
Al-Mukhtarah-nya Imam Dhiya'uddin Al-Maqdisi No. 2200. Sementara Imam Al-Munawi
mengatakan: isnadnya shahih. Lihat At-Taisir bi Syarhil Jami' Ash
Shaghir, 2/95)
Pihak yang
membolehkan mengatakan, bahwa mafhum mukhalafah (makna implisit) pada
hadits ini adalah jika seruling itu terlaknat ketika dalam keadaan nikmat, maka
seruling boleh dimainkan diluar keadaan memperoleh nikmat. Jika meraung
dilarang dalam keadaan musibah, maka meraung (berteriak) dibolehkan selain
dalam keadaan musibah. Imam Al-Munawi mengatakan:
قَالَ القشيرى مَفْهُومه الْحل فِي غير
هَاتين الْحَالَتَيْنِ.
Berkata Al-Qusyairi:
makna implisitnya adalah bahwa hal ini halal diluar dua keadaan ini. (At-Taisir bi
Syarhil Jami' Ash Shaghir, 2/95)
Pemahaman Al-Qusyairi
ini sudah dikoreksi oleh Imam Ibnu Taimiyah dan Imam Al-Qurthubi sebagaimana
penjelasan terdahulu. (Lihat keterangan hadits kedelapan pada pembahasan dalil
As-Sunnah pihak yang mengharamkan)
Lalu, pihak yang
membolehkan juga mengatakan bahwa hadits ini dhaif, sebagaimana
dikatakan oleh Imam Asy-Syaukani Rahimahullah ketika menjelaskan hadits
ini. Berikut ini keterangannya:
وَقَدْ أَجَابَ الْمُجَوِّزُونَ عَنْهَا
بِأَنَّهُ قَدْ ضَعَّفَهَا جَمَاعَةٌ مِنْ الظَّاهِرِيَّةِ وَالْمَالِكِيَّةِ
وَالْحَنَابِلَةِ وَالشَّافِعِيَّةِ، وَقَدْ تَقَدَّمَ مَا قَالَهُ ابْنُ حَزْمٍ
وَوَافَقَهُ عَلَى ذَلِكَ أَبُو بَكْرِ بْنُ الْعَرَبِيِّ فِي كِتَابِهِ
الْأَحْكَامُ وَقَالَ: لَمْ يَصِحَّ فِي التَّحْرِيمِ شَيْءٌ، وَكَذَلِكَ قَالَ
الْغَزَالِيُّ وَابْنُ النَّحْوِيِّ فِي الْعُمْدَةِ، وَهَكَذَا قَالَ ابْنُ
طَاهِرٍ: إنَّهُ لَمْ يَصِحَّ مِنْهَا حَرْفٌ وَاحِد.
Pihak yang
membolehkan telah memberikan jawaban terhadap berbagai riwayat ini, bahwasanya
itu telah didhaifkan oleh segolongan ulama dari kalangan Zhahiriyah, Malikiyah,
Hanabilah, dan Syafi'iyah, telah disampaikan sebelumnya komentar Imam Ibnu Hazm
dan yang menyepakatinya seperti Imam Abu Bakar bin Al-'Arabi, di dalam kitabnya
Al-Ahkam, katanya, "Tidak ada yang shahih sedikitpun dalam pengharamannya."
Demikian juga perkataan Al-Ghazali dan Ibnu Nahwi dalam Al-'Umdah. Demikian
juga yang dikatakan Ibnu Thahir, "Tidak ada yang shahih satu huruf pun
tentang pengharaman (nyanyian dan musik)." (Nailul Authar,
8/117)
Hadits kesembilan:
Dari Abu Hurairah Radhiallahu
'Anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
الْجَرَسُ مَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ.
Lonceng adalah
seruling-seruling syetan. (HR. Muslim No. 2114, Abu Daud No. 2556, dan An Nasa’i
dalam As-Sunan Al-Kubra No. 8761)
Menurut pihak yang
membolehkan, hadits ini juga tidak bisa dijadikan hujjah karena beberapa
hal:
Pertama, lonceng
bukanlah alat hiburan dan bukan alat musik, lebih tepat dia adalah alat
komunikasi yang biasa dipakai oleh kaum Nasrani pada gereja-gereja mereka. Oleh
karenanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam melarang menggunakan
lonceng untuk memanggil orang shalat berjama'ah, sebab itu menyerupai orang
Nasrani. Dilarang pula menggantungkan lonceng dalam perjalanan.
Rasulullah Shallallahu
'Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ الْعِيرَ الَّتِي فِيهَا الْجَرَسُ
لَا تَصْحَبُهَا الْمَلَائِكَةُ.
Malaikat tidaklah
menyertai qafilah yang di dalamnya terdapat lonceng. (HR. Ahmad No. 26770,
Ad-Darimi No. 2717, An Nasa'i, As-Sunan Al-Kubra No. 8760, dll. Syaikh
Syu'aib Al-Arnauth mengatakan: shahih lighairih. Lihat Ta'liq Musnad
Ahmad No. 44/355)
Maka, kenyataan bahwa
lonceng bukan alat musik, tidak pas menjadikan hadits ini sebagai larangan
musik.
Kedua, sebutan bahwa itu
adalah seruling syetan tidak selalu membawa konsekuensi haram, sebab Ad-Duf
(rebana) yang dimainkan oleh dua gadis di rumah Nabi pada saat hari raya, oleh
Abu Bakar Radhiallahu 'Anhu juga disebut seruling syetan, tetapi Nabi Shallallahu
'Alaihi wa Sallam membolehkannya saat itu.
Sedangkan 'Aisyah Radhiallahu
'Anha, memakruhkan suara lonceng. (Ibnu Abi Syaibah, Al-Mushannaf,
No. 32594)
Ketiga, kalaulah lonceng
ini haram, maka itu terbatas pada lonceng saja, sebab hadits-haditsnya khusus
dan terbatas. Para ulama pun tidak memasukkan bel sekolah, alarm jam, dering
telepon termasuk di dalam makna 'lonceng'.
Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani Rahimahullah mengatakan:
وقد أحدثت في هذا العصر أجراس متنوعة
لأغراض مختلفة نافعة، كجرس ساعة المنبه الذي يوقظ من النوم، وجرس الهاتف "التليفون"،
وجرس دوائر الحكومة، والدور، ونحو ذلك، فهل يدخل هذا في الأحاديث المذكورة وما في
معناها؟ وجوابي: لا، وذلك لأنه لا يشبه الناقوس لا في صوته ولا في صورته. والله
أعلم.
Pada zaman ini telah
ada berbagai suara buatan dengan beragam tujuan. Ada suara alarm jam untuk
membangunkan dari tidur, suara dering panggilan telepon, suara bel yang ada di
kantor-kantor pemerintah, asrama, atau lainnya. Apakah suara-suara buatan
tersebut termasuk dalam hadits-hadits larangan di atas dan hadits-hadits lain
yang semakna? Jawabanku, tidak termasuk, karena suara-suara buatan tersebut
tidak menyerupai suara lonceng baik dari sisi suara ataupun bentuk. Wallahu A'lam. (Jilbab Mar'ah
Muslimah, Hal. 169)
Hadits kesepuluh:
Dari 'Aisyah Radhiallahu
'Anha, katanya:
أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ، دَخَلَ عَلَيْهَا وَعِنْدَهَا جَارِيَتَانِ فِي أَيَّامِ مِنَى
تُدَفِّفَانِ، وَتَضْرِبَانِ، وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مُتَغَشٍّ بِثَوْبِهِ، فَانْتَهَرَهُمَا أَبُو بَكْرٍ، فَكَشَفَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ وَجْهِهِ، فَقَالَ: دَعْهُمَا يَا أَبَا بَكْرٍ،
فَإِنَّهَا أَيَّامُ عِيدٍ، وَتِلْكَ.
Bahwasanya Abu Bakar
Radhiallahu 'Anhu, masuk ke kamarnya dan saat itu ada dua jariyah (anak gadis)
yang sedang memainkan rebana di hari Mina. Saat itu Nabi Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam sedang menyelimuti dirinya dengan pakaiannya, lalu Abu Bakar mencelanya,
lalu Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam membuka wajahnya dan bersabda, "Biarkan
mereka berdua wahai Abu Bakar, sesungguhnya ini adalah hari raya." (HR. Bukhari No.
987, Muslim No. 892, lafaz ini milik Al-Bukhari)
Hadits ini shahih,
muttafaq 'alaih, dan sharih (jelas) bahwa rebana itu boleh atas
rekomendasi Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam di hari raya, bahkan hari
lainnya.
Imam An-Nawawi Rahimahullah
menjelaskan:
أن ضرب دف العرب مباح في يوم السرور
الظاهر وهو العيد والعرس والختان قوله في أيام منى يعني الثلاثة بعد يوم النحر وهي
أيام التشريق ففيه أن هذه الأيام داخلة في أيام العيد.
Bahwa memainkan
rebana Arab adalah dibolehkan pada hari yang menyenangkan, zahirnya adalah pada
hari raya, nikah, dan khitan. Ucapannya "di hari-hari Mina" maksudnya
di tiga hari setelah hari penyembelihan, yaitu hari-hari tasyriq. Maka, hari-hari
ini termasuk hari raya. (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/184)
Hadits kesebelas:
Dari Buraidah
katanya:
خَرَجَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ مَغَازِيهِ، فَلَمَّا انْصَرَفَ جَاءَتْ جَارِيَةٌ
سَوْدَاءُ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي كُنْتُ نَذَرْتُ إِنْ رَدَّكَ
اللَّهُ سَالِمًا أَنْ أَضْرِبَ بَيْنَ يَدَيْكَ بِالدُّفِّ وَأَتَغَنَّى، فَقَالَ
لَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنْ كُنْتِ نَذَرْتِ
فَاضْرِبِي وَإِلاَّ فَلاَ. فَجَعَلَتْ تَضْرِبُ، فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَهِيَ
تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عَلِيٌّ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ وَهِيَ
تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عُمَرُ فَأَلْقَتِ الدُّفَّ تَحْتَ اسْتِهَا، ثُمَّ
قَعَدَتْ عَلَيْهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَيَخَافُ مِنْكَ يَا عُمَرُ، إِنِّي كُنْتُ جَالِسًا وَهِيَ
تَضْرِبُ فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عَلِيٌّ وَهِيَ
تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ وَهِيَ تَضْرِبُ، فَلَمَّا دَخَلْتَ أَنْتَ يَا
عُمَرُ أَلْقَتِ الدُّفَّ.
Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam melakukan peperangan, ketika sudah kembali
datanglah kepadanya seorang budak wanita berkulit hitam, lalu berkata, "Wahai
Rasulullah, aku bernadzar jika engkau kembali dalam keadaan selamat aku akan
memainkan rebana dan bernyanyi di hadapanmu." Rasulullah bersabda, "Jika
engkau sudah bernadzar maka pukullah rebana itu, jika tidak bernadzar maka
tidak usah dipukul rebananya." (HR. At-Tirmidzi No. 3690, katanya: hasan
shahih)
Bahkan dalam kisah
hadits ini, gadis ini tetap memainkan rebananya ketika Abu Bakar, Utsman, dan
Ali Radhiallahu 'Anhum datang. Namun ketika Umar Radhiallahu 'Anhu
datang, maka gadis ini melempar rebananya karena ketakutan.
Jadi, dalam hadits
ini banyak sekali pelajaran berharga. Di antaranya:
Pertama, menjadi dalil yang
kuat kebolehan Al-Ma'azif, yakni Ad-Duf (rebana). Sebab, jika
seandainya itu perbuatan terlarang dan maksiat tentu Nabi akan melarang gadis
itu bernadzar dengan sesuatu yang terlarang dan maksiat. Justru Nabi
memerintahkannya untuk memukul rebana itu. Imam Asy-Syaukani Rahimahullah
menjelaskan:
وَأَمَّا الْمُجَوِّزُونَ
فَيَسْتَدِلُّونَ بِهِ عَلَى مُطْلَقِ الْجَوَازِ لِمَا سَلَفَ. وَقَدْ دَلَّتْ
الْأَدِلَّةُ عَلَى أَنَّهُ لَا نَذْرَ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ، فَالْإِذْنُ
مِنْهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَهَذِهِ الْمَرْأَةِ بِالضَّرْبِ
يَدُلُّ عَلَى أَنَّ مَا فَعَلَتْهُ لَيْسَ بِمَعْصِيَة.
Adapun pihak yang
membolehkan berdalil dengan hadits ini, bahwa musik dibolehkan secara mutlak
sebagaimana pembahasan lalu. Bahwasanya berbagai dalil menyatakan tidak boleh
bernadzar dalam hal maksiat kepada Allah, maka izin Nabi Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam kepada wanita ini untuk memukul rebana menunjukkan bahwa apa yang
dilakukannya bukanlah maksiat. (Nailul Authar, 8/199)
Nabi Shallallahu 'Alaihi
wa Sallam bersabda:
فَإِنَّهُ لَا وَفَاءَ لِنَذْرٍ فِي مَعْصِيَةِ
اَللَّهِ.
Sesungguhnya tidak
boleh memenuhi nadzar dalam hal maksiat kepada Allah. (HR. Abu Daud No.
3313. Dishahihkan oleh Imam Ibnu Hajar, Imam Ibnu Abdil Hadi, Imam Ibnul
Mulaqqin, dan lainnya)
Ada pun ucapan Nabi, "Jika
tidak bernadzar maka tidak usah dipukul rebananya", karena memang tidak
ada tuntutan untuk memukulnya jika tidak bernadzar, ucapan ini bukan berarti
rebana adalah haram.
Kedua, bahkan rebana itu
pun didengarkan pula oleh Abu Bakar, Utsman, dan Ali Radhiallahu 'Anhum.
Ketiga, peristiwa ini pun
bukan terjadi pada saat hari raya, bukan pernikahan, bukan pula khitanan. Oleh
karenanya, golongan ini menjadikannya sebagai dalil bolehnya musik pada waktu
kapan pun secara mutlak sebagaimana dikatakan oleh Imam Asy-Syaukani.
Keempat, hadits ini menjadi
dalil bolehnya laki-laki mendengarkan wanita bernyanyi jika aman dari fitnah.
Imam Ali Al-Qari Rahimahullah mengatakan:
دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ سَمَاعَ صَوْتِ
الْمَرْأَةِ بِالْغِنَاءِ مُبَاحٌ إِذَا خَلَا عَنِ الْفِتْنَةِ.
Ini merupakan dalil
bahwa mendengarkan suara wanita yang bernyanyi adalah mubah jika tidak ada
fitnah.
(Mirqah Al-Mafatih, 9/3902)
Hadits kesepuluh
dan kesebelas ini, dijadikan dalil oleh Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah
kebolehan musik dan nyanyian yang baik-baik, hanya saja Beliau menegaskan
kehalalan musik bisa berubah jika diarahkan pada perkara-perkara yang tidak
halal pula. Beliau berkata:
فإذا
عرض له ما يخرجه عن دائرة الحلال كأن يهيج الشهوة أو يدعو إلى فسق أو ينبه إلى
الشر أو اتخذ ملهاة عن الطاعات، كان غير حلال. فهو حلال في ذاته وإنما عرض ما
يخرجه عن دائرة الحلال وعلى هذا تحمل أحاديث النهي عنه.
Jika dia diarahkan
untuk keluar dari lingkup kehalalan, seperti membangkitkan syahwat, atau ajakan
kepada kefasikan, atau menumbuhkan kepada keburukan, atau menjadikannya lalai
dari ketaatan, maka itu tidak halal. Maka, musik halal secara dzatnya, dia
hanyalah telarang jika diarahkan untuk keluar dari lingkup kehalalan. Untuk
ini, banyak hadits-hadits bermakna demikian yang melarangnya. (Fiqhus Sunnah,
3/57)
Hadits kedua belas:
Ar-Rubayyi binti Mu'awidz
Radhiallahu 'Anha bercerita:
دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عُرْسِي، فَقَعَدَ فِي مَوْضِعِ فِرَاشِي هَذَا،
وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ تَضْرِبَانِ بِالدُّفِّ، وَتَنْدُبَانِ آبَائِي الَّذِينَ
قُتِلُوا يَوْمَ بَدْرٍ، فَقَالَتَا فِيمَا تَقُولَانِ: وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ
مَا يَكُونُ فِي الْيَوْمِ وَفِي غَدٍ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا هَذَا، فَلَا تَقُولَاهُ.
Pada hari
pernikahanku Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam datang, dia duduk di
permadaniku ini. Aku memiliki dua jariyah (budak wanita remaja) yang sedang
memainkan rebana, mereka menyanyikan lagu tentang ayah-ayah kami ketika
terbunuh dalam perang Badar, maka mereka berkata, "Di tengah kita ada
seorang Nabi yang mengetahui apa yang terjadi hari ini dan esok." Maka
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, "Ucapan yang ini,
janganlah kalian berdua ucapkan." (HR. Ahmad No. 27021. Syaikh Syu'aib Al-Arnauth
mengatakan: shahih sesuai syarat Imam Muslim. Lihat Ta'liq Musnad
Ahmad, 44/570)
Kisah dalam hadits
ini menjadi salah satu dalil kebolehan rebana di saat pernikahan. Bahkan hadits
kesebelas dan kedua belas menjadi dasar sebagian mereka kebolehan
mendengarkan wanita bernyanyi jika tidak mengandung fitnah.
Hadits ketiga belas:
Dari 'Aisyah Radhiallahu
'Anha, bersabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam:
أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ
وَاجْعَلُوهُ فِي الْمَسَاجِدِ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالدُّفُوفِ.
Umumkanlah pernikahan
ini dan lakukanlah di dalam masjid, dan pukul-lah rebana. (HR. At-Tirmidzi No.
1089, katanya: hasan gharib, Ad-Dailami No. 335)
Hadits ini menjadi
salah satu dalil juga kebolehan rebana di pernikahan. Tapi telah terjadi
perbedaan pendapat ulama tentang status hadits ini. Sebagian ulama
mendhaifkannya, sebagian lain menshahihkannya.[2]
Hadits keempat belas:
Dari Nafi', katanya:
سَمِعَ
ابْنُ عُمَرَ، مِزْمَارًا قَالَ: فَوَضَعَ إِصْبَعَيْهِ عَلَى أُذُنَيْهِ، وَنَأَى
عَنِ الطَّرِيقِ، وَقَالَ لِي: يَا نَافِعُ هَلْ تَسْمَعُ شَيْئًا؟ قَالَ:
فَقُلْتُ: لَا، قَالَ: فَرَفَعَ إِصْبَعَيْهِ مِنْ أُذُنَيْهِ، وَقَالَ: «كُنْتُ
مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمِعَ مِثْلَ هَذَا فَصَنَعَ
مِثْلَ هَذَا».
Ibnu Umar mendengar
suara seruling, lalu dia menutup kedua telinganya dengan jarinya, lalu dia
menjauh dari jalan dan berkata kepadaku, "Wahai Nafi', apakah kamu masih
mendengar suaranya?" Aku menjawab, "Tidak." Lalu Ibnu Umar
melepaskan jarinya dari kedua telinganya. Lalu Ibnu Umar berkata: Dulu aku
bersama Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, dia mendengar suara ini, dan dia
melakukan seperti ini (maksudnya menutup telinga)." (HR. Abu Daud No.
4924)
Hadits ini, dijadikan
alasan oleh pihak yang mengharamkan, namun disanggah oleh pihak yang
membolehkan pada dua sisi:
Pertama, hadits ini dhaif,
sebagaimana kata Imam Abu Daud sendiri bahwa hadits ini munkar.[3]
Kedua, justru hadits ini --
jikalau shahih -- menjadi dalil bagi pihak yang membolehkan. Imam Ibnu
Qudamah mengatakan:
وَقَدْ احْتَجَّ قَوْمٌ بِهَذَا
الْخَبَرِ عَلَى إبَاحَةِ الْمِزْمَارِ، وَقَالُوا: لَوْ كَانَ حَرَامًا لَمَنَعَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ابْنَ عُمَرَ مِنْ سَمَاعِهِ،
وَمَنَعَ ابْنُ عُمَرَ نَافِعًا مِنْ اسْتِمَاعِهِ.
Segolongan kaum
berdalil dengan kisah ini tentang kebolehan seruling. Menurut mereka,
seandainya haram niscaya Nabi juga akan melarang Ibnu Umar mendengarkannya, dan
Ibnu Umar juga akan melarang Nafi' mendengarkannya. (Al-Mughni,
10/154)
Sedangkan Imam Ibnu
Qudamah sendiri mengoreksi alasan pihak yang membolehkan. Menurutnya yang
dilakukan oleh Nafi' saat itu adalah mendengar tidak sengaja (As-Samaa'),
sebagaimana bunyi teksnya, bukan sengaja mendengarkan (Al-Istimaa'), dan
kedua hukum ini berbeda, As-Samaa' (mendengar tidak sengaja) dimaafkan
dan yang Al-istimaa' (sengaja mendengar) tidak boleh. (Ibid)
G. Keterangan Para Ulama Yang Membolehkan
Berikut ini beragam
keterangan tentang para ulama, sejak masa sahabat dan tabi'in yang
membolehkan musik. Dikutip dari berbagai rujukan, yang saling melengkapi satu
sama lain.
1. Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali Rahimahullah[4]
Beliau menceritakan:
ونقل أبو طالب المكي إباحة السماع من
جماعة فقال سمع من الصحابة عبد الله بن جعفر وعبد الله بن الزبير والمغيرة بن شعبة
ومعاوية وغيرهم وقال قد فعل ذلك كثير من السلف الصالح صحابي وتابعي بإحسان وقال لم
يزل الحجازيون عندنا بمكة يسمعون السماع في أفضل أيام السنة وهى الايام المعدودات
التي أمر الله عباده فيها بذكره كأيام التشريق ولم يزل أهل المدينة مواظبين كأهل
مكة على السماع إلى زماننا هذا فأدركنا أبا مروان القاضي وله جوار يسمعن الناس
التلحين قد أعدهن للصوفية قال وكان لعطاء جاريتان يلحنان فكان إخوانه يستمعون
إليهما قال وقيل لأبي الحسن بن سالم كيف تنكر السماع وقد كان الجنيد وسرى السقطى
وذو النون يستمعون فقال وكيف أنكر السماع وقد أجازه وسمعه من هو خير مني فقد كان
عبد الله بن جعفر الطيار يسمع وإنما أنكر اللهو واللعب في السماع.
Abu Thalib Al-Makki
menukil tentang kebolehan mendengarkan (nyanyian dan musik) dari segolongan
manusia. Dia mengatakan, dari golongan sahabat adalah Abdullah bin Ja'far,
Abdullah bin Az-Zubeir, Al-Mughirah bin Syu'bah, Mu'awiyah, dan lainnya. Dia
juga mengatakan bahwa hal ini juga dilakukan oleh banyak salafush shalih, baik
sahabat, dan yang mengikuti mereka dengan baik. Katanya: Orang-orang Hijaz -- menurut
kami Mekkah -- senantiasa mendengarkannya di hari-hari yang memiliki keutamaan,
yaitu hari-hari tertentu yang Allah Ta’ala perintahkan untuk ibadah dan
berdzikir kepada-Nya, seperti hari-hari tasyriq. Penduduk Madinah -- sebagaimana
penduduk Mekkah -- juga begitu semangat melakukannya hingga zaman kita
sekarang. Saya jumpai Abu Marwan Al-Qadhi memiliki tetangga yang suka
mendengarkan manusia yang menggubah nyanyian dan menyiapkannya untuk para sufi.
Dia juga berkata, dahulu 'Atha memiliki dua jariyah yang suka menggubah
nyanyian dan saudara-saudaranya mendengarkan mereka berdua. Dia juga berkata,
bahwa ditanyakan kepada Abul Hasan bin Salim, bagaimana engkau mengingkari As-Samaa'
padahal dulu Al-Junaid, As-Sari As-Suqthi, dan Dzun Nuun juga mendengarkannya?
Maka dia berkata, "Bagaimana aku mengingkarinya padahal orang yang lebih
baik dariku telah membolehkan dan mendengarkannya? Sesungguhnya Abdullah bin Ja'far
Ath-Thayyar Radhiallahu 'Anhuma telah mendengarkannya, yang aku ingkari adalah
jika mendengarkannya untuk tujuan melalaikan dan permainan saja." (Ihya 'Ulumddin,
2/269)
2. Khadimus Sunnah, Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah[5]
Beliau menceritakan bahwa banyak para sahabat Nabi dan tabi'in
pernah mendengarkan nyanyian dan memainkan musik. Berikut ini keterangannya:
ما صح عن جماعة كثيرين من الصحابة
والتابعين أنهم كانوا يسمعون الغناء والضرب على المعازف. فمن الصحابة عبد الله بن
الزبير، وعبد الله بن جعفر وغيرهما. ومن التابعين: عمر بن عبد العزيز، وشريح القاضي،
وعبد العزيز بن مسلمة، مفتي المدينة وغيرهم.
Telah shahih dari
segolongan banyak dari sahabat Nabi dan tabi’in, bahwa mereka mendengarkan
nyanyian dan memainkan musik. Di antara sahabat contohnya Abdulah bin Az-Zubeir,
Abdullah bin Ja'far, dan selain mereka berdua. Dari generasi tabi'in contohnya:
Umar bin Abdul 'Aziz, Syuraih Al-Qadhi, Abdul 'Aziz bin Maslamah Mufti Madinah,
dan selain mereka.
(Fiqhus Sunnah, 3/57-58)
3. Syaikh Wahbah Az-Zuhaili Rahimahullah[6]
Mirip dengan yang
disampaikan oleh Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah, berikut ini
penjelasan Syaikh Wahbah Az-Zuhaili Hafizhahullah:
وأباح مالك والظاهرية وجماعة من الصوفية
السماع ولو مع العود واليراع. وهو رأي جماعة من الصحابة (ابن عمر، وعبد الله بن
جعفر، وعبد الله بن الزبير، ومعاوية، وعمرو بن العاص وغيرهم) وجماعة من التابعين
كسعيد بن المسيب.
Imam Malik, golongan Zhahiriyah,
dan segolongan sufi, membolehkan mendengarkan nyanyian walau pun dengan kecapi
dan klarinet. Itu adalah pendapat segolongan sahabat Nabi seperti Ibnu Umar,
Abdullah bin Ja'far, Abdullah bin Az-Zubeir, Mu'awiyah, Amr bin Al-'Ash, dan
selain mereka, dan segolongan tabi'in seperti Sa'id bin Al-Musayyib. (Syaikh Wahbah Az-Zuhaili,
Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 4/2665)
Pada pembahasan
terdahulu kita mendapatkan riwayat bahwa Ibnu Umar Radhiallahu 'Anhuma
menutup kedua telinganya ketika terdengar suara seruling, yang kemudian itu
dianggap sebagai dalil bahwa Beliau mengharamkan. Tetapi dalam kisah yang lain
bahwa Ibnu Umar Radhiallahu 'Anhu justru membolehkan kecapi. Berikut ini
kisahnya:
وَرَوَى صَاحِبُ الْعِقْدِ الْعَلَّامَةُ
الْأَدِيبُ أَبُو عُمَرَ الْأَنْدَلُسِيُّ: أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ
دَخَلَ عَلَى ابْنِ جَعْفَرٍ فَوَجَدَ عِنْدَهُ جَارِيَةً فِي حِجْرِهَا عُودٌ
ثُمَّ قَالَ لِابْنِ عُمَرَ: هَلْ تَرَى بِذَلِكَ بَأْسًا؟ قَالَ: لَا بَأْسَ
بِهَذَا.
Pengarang kitab Al-'Iqdu,
Al-'Allamah Abu Umar Al-Andalusi, meriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar masuk ke
rumah Abdullah bin Ja'far. Dia dapati di rumahnya itu ada seorang jariyah yang
dikamarnya terdapat 'Uud (kecapi). Lalu Beliau bertanya kepada Ibnu Umar, "Apakah
pendapatmu ini boleh-boleh saja?" Beliau menjawab, "Tidak apa-apa." (Nailul Authar,
8/113)
Sementara Imam Abu
Hanifah Radhiallahu 'Anhu, dari pendapatnya mengisyaratkan bahwa Beliau
tidak menganggap alat-alat musik adalah haram, hal itu bisa terlihat keterangan
Imam Al-Kisani berikut ini:
وَيَجُوزُ بَيْعُ آلَاتِ الْمَلَاهِي
مِنْ الْبَرْبَطِ، وَالطَّبْلِ، وَالْمِزْمَارِ، وَالدُّفِّ، وَنَحْوِ ذَلِكَ
عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ.
Dibolehkan menjual
alat-alat musik seperti Al-Barbath, gendang, seruling, rebana, dan lainnya,
menurut Imam Abu Hanifah. (Bada'i Ash Shana'i, 5/144)
Para ahli bahasa
menjelaskan Al-Barbath adalah alat musik orang 'ajam (non Arab),
yang ter-Arabkan. (Abu Manshur Al-Harawi Al-Azhari, Tahdzibul Lughah, 14/42)
Ada juga yang menyebut 'Uud (kecapi), dan itu adalah bahasa Persia. (Abu
Abdillah Al-Balkhi Al-Khawarizmi, Mafatih Al-'Ulum, 1/260) Ada juga yang
menyebut alat musik menyerupai kecapi, berasal dari Persia yang ter-Arabkan.
(Ibnul Atsir, Nihayah fi Gharibil Hadits, 1/112)
Tentunya hanya benda-benda
halal yang boleh diperjualbelikan. Maka ketika alat-alat musik dibolehkan
diperjualbelikan oleh Imam Abu Hanifah, itu mengisyaratkan begitulah pendapat
Imam Abu Hanifah. Wallahu A'lam.
Hal ini dipertegas lagi dalam keterangan dalam Al-Mausu'ah
berikut ini:
وذهب
بعض الفقهاء إلى إباحتها إذا لم يلابسها محرم، فيكون بيعها عند هؤلاء مباحا.
والتفصيل في مصطلح (معازف). ومذهب أبي حنيفة خلافا لصاحبيه أنه يصح بيع
آلات اللهو كله.
Sebagian ahli fiqih berpendapat, bolehnya menjual alat-alat
musik bila tidak
dicampuri dengan hal-hal yang haram, maka menjual hal tersebut bagi mereka
mubah. Rinciannya terdapat dalam pembahasan Al-Ma'azif. Imam Abu Hanifah
berpendapat -- berbeda dengan dua sahabatnya -- bahwa sah memperjualbelikan
alat-alat musik seluruhnya. (Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 9/157)
Imam Abu Muhammad bin
Hazm Rahimahullah juga menegaskan kebolehan jual beli alat-alat musik,
katanya:
وبيع الشطرنج، والمزامير، والعيدان،
والمعازف، والطنابير: حلال كله، ومن كسر شيئا من ذلك ضمنه.
Menjual catur,
seruling, alat pesta, alat musik, tamburin, semuanya halal, dan barang siapa
yang menghancurkannya maka dia wajib mengganti rugi. (Al-Muhalla,
7/599)
Lalu Imam Ibnu Hazm
menjelaskan alasannya:
قال تعالى:
{خلق لكم ما في الأرض جميعا} [البقرة: 29] ، وقال تعالى: {وأحل الله البيع} [البقرة: 275]
، وقال تعالى: {وقد فصل لكم ما حرم عليكم} [الأنعام: 119] ،
ولم يأت نص بتحريم بيع شيء من ذلك، ورأى أبو حنيفة الضمان على من كسر شيئا من ذلك.
واحتج المانعون بآثار لا تصح، أو يصح بعضها، ولا حجة لهم فيها.
Allah Ta’ala
berfirman, "Dia telah menciptakan apa-apa yang ada di bumi semuanya untuk
kalian." (Al-Baqarah: 29), dan firman-Nya, "Allah telah halalkan jual
beli." (Al-Baqarah: 275), dan firman-Nya, "Dia telah menjelaskan
untuk kalian apa-apa yang diharamkan atas kalian." (Al-An'am: 119), dan
tidak ada satu pun nash yang mengharamkannya. Pendapat Abu Hanifah adalah wajib
ganti rugi bagi yang menghancurkan alat-alat itu. Orang-orang yang melarang
alat musik telah berhujjah dengan berbagai atsar yang tidak shahih, atau
sebagiannya shahih, tetapi tidak bisa dijadikan hujjah (alasan). (Ibid)
4. Imam Asy-Syaukani Rahimahullah[7]
Imam Asy-Syaukani Rahimahullah
juga menceritakan dengan panjang lebar tentang siapa-siapa saja para imam kaum
muslimin yang pernah mendengarkan dan membolehkannya, berikut penjelasannya:
وَقَدْ اُخْتُلِفَ فِي الْغِنَاءِ مَعَ
آلَةٍ مِنْ آلَاتِ الْمَلَاهِي وَبِدُونِهَا. فَذَهَبَ الْجُمْهُورُ إلَى
التَّحْرِيمِ مُسْتَدِلِّينَ بِمَا سَلَفَ. وَذَهَبَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ وَمَنْ
وَافَقَهُمْ مِنْ عُلَمَاءِ الظَّاهِرِ وَجَمَاعَةٍ مِنْ الصُّوفِيَّةِ إلَى
التَّرْخِيصِ فِي السَّمَاعِ وَلَوْ مَعَ الْعُودِ وَالْيَرَاعِ. وَقَدْ حَكَى
الْأُسْتَاذُ أَبُو مَنْصُورٍ الْبَغْدَادِيُّ الشَّافِعِيُّ فِي مُؤَلَّفِهِ فِي
السَّمَاعِ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ جَعْفَرٍ كَانَ لَا يَرَى بِالْغِنَاءِ
بَأْسًا وَيَصُوغُ الْأَلْحَانَ لِجَوَارِيهِ وَيَسْمَعُهَا مِنْهُنَّ عَلَى
أَوْتَارِهِ، وَكَانَ ذَلِكَ فِي زَمَنِ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ عَلِيٍّ وَحَكَى
الْأُسْتَاذُ الْمَذْكُورُ مِثْلَ ذَلِكَ أَيْضًا عَنْ الْقَاضِي شُرَيْحٍ
وَسَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ وَعَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ وَالزُّهْرِيِّ
وَالشَّعْبِيِّ وَقَالَ إمَامُ الْحَرَمَيْنِ فِي النِّهَايَةِ وَابْنُ أَبِي
الدَّمِ: نَقَلَ الْإِثْبَاتَ مِنْ الْمُؤَرِّخِينَ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ
الزُّبَيْرِ كَانَ لَهُ جِوَارٍ عَوَّادَاتٍ، وَأَنَّ ابْنَ عُمَرَ دَخَلَ
عَلَيْهِ وَإِلَى جَنْبِهِ عُودٌ فَقَالَ: مَا هَذَا يَا صَاحِبَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَاوَلَهُ إيَّاهُ، فَتَأَمَّلَهُ ابْنُ عُمَرَ فَقَالَ:
هَذَا مِيزَانٌ شَامِيٌّ، قَالَ ابْنُ الزُّبَيْرِ: يُوزَنُ بِهِ الْعُقُولُ.
وَرَوَى الْحَافِظُ أَبُو مُحَمَّدِ بْنُ
حَزْمٍ فِي رِسَالَتِهِ فِي السَّمَاعِ بِسَنَدِهِ إلَى ابْنِ سِيرِينَ قَالَ:
إنَّ رَجُلًا قَدِمَ الْمَدِينَةَ بِجَوَارٍ فَنَزَلَ عَلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عُمَرَ وَفِيهِنَّ جَارِيَةٌ تَضْرِبُ، فَجَاءَ رَجُلٌ فَسَاوَمَهُ فَلَمْ يَهْوَ
مِنْهُنَّ شَيْئًا، قَالَ: انْطَلِقْ إلَى رَجُلٍ هُوَ أَمْثَلُ لَكَ بَيْعًا مِنْ
هَذَا؟ قَالَ مَنْ هُوَ؟ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ، فَعَرَضَهُنَّ عَلَيْهِ،فَأَمَرَ
جَارِيَةً مِنْهُنَّ فَقَالَ لَهَا: خُذِي الْعُودَ، فَأَخَذَتْهُ فَغَنَّتْ
فَبَايَعَهُ، ثُمَّ جَاءَ إلَى ابْنِ عُمَرَ إلَى آخِرِ الْقِصَّةِ وَرَوَى
صَاحِبُ الْعِقْدِ الْعَلَّامَةُ الْأَدِيبُ أَبُو عُمَرَ الْأَنْدَلُسِيُّ: أَنَّ
عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ دَخَلَ عَلَى ابْنِ جَعْفَرٍ فَوَجَدَ عِنْدَهُ
جَارِيَةً فِي حِجْرِهَا عُودٌ ثُمَّ قَالَ لِابْنِ عُمَرَ: هَلْ تَرَى بِذَلِكَ
بَأْسًا؟ قَالَ: لَا بَأْسَ بِهَذَا وَحَكَى الْمَاوَرْدِيُّ عَنْ مُعَاوِيَةَ
وَعَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُمْ سَمِعَا الْعُودَ عِنْدَ ابْنِ جَعْفَرٍ
وَرَوَى أَبُو الْفَرَجِ الْأَصْبَهَانِيُّ أَنَّ حَسَّانَ بْنَ ثَابِتٍ سَمِعَ
مِنْ عَزَّةَ الْمَيْلَاءِ الْغِنَاءَ بِالْمِزْهَرِ بِشِعْرٍ مِنْ شِعْرِهِ.
وَذَكَرَ أَبُو الْعَبَّاسِ الْمُبَرِّدُ نَحْوَ ذَلِكَ، وَالْمِزْهَرُ عِنْدَ
أَهْلِ اللُّغَةِ: الْعُودُ وَذَكَرَ الْإِدْفَوِيُّ أَنَّ عُمَرَ بْنَ عَبْدَ
الْعَزِيزِ كَانَ يَسْمَعُ مِنْ جَوَارِيهِ قَبْلَ الْخِلَافَةِ.
وَنَقَلَ ابْنُ السَّمْعَانِيِّ
التَّرْخِيصَ عَنْ طَاوُسٍ وَنَقَلَهُ ابْنُ قُتَيْبَةَ وَصَاحِبُ الْإِمْتَاعِ
عَنْ قَاضِي الْمَدِينَةِ سَعْدِ بْنِ إبْرَاهِيمَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
الزُّهْرِيِّ مِنْ التَّابِعِينَ. وَنَقَلَهُ أَبُو يَعْلَى الْخَلِيلِيُّ فِي
الْإِرْشَادِ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ أَبِي سَلَمَةَ الْمَاجِشُونِ مُفْتِي
الْمَدِينَةِ وَحَكَى الرُّويَانِيُّ عَنْ الْقَفَّالِ أَنَّ مَذْهَبَ مَالِكِ
بْنِ أَنَسٍ إبَاحَةُ الْغِنَاءِ بِالْمَعَازِفِ. وَحَكَى الْأُسْتَاذُ أَبُو
مَنْصُورٍ وَالْفُورَانِيُّ عَنْ مَالِكٍ جَوَازَ الْعُودِ. وَذَكَرَ أَبُو
طَالِبٍ الْمَكِّيُّ فِي قُوتِ الْقُلُوبِ عَنْ شُعْبَةَ أَنَّهُ سَمِعَ
طُنْبُورًا فِي بَيْتِ الْمِنْهَالِ بْنِ عَمْرٍو الْمُحَدِّثِ الْمَشْهُورِ.
وَحَكَى أَبُو الْفَضْلِ بْنُ طَاهِرٍ فِي مُؤَلَّفِهِ فِي السَّمَاعِ أَنَّهُ لَا
خِلَافَ بَيْنَ أَهْلِ الْمَدِينَةِ فِي إبَاحَةِ الْعُودِ.
قَالَ ابْنُ النَّحْوِيِّ فِي الْعُمْدَةِ:
قَالَ ابْنُ طَاهِرٍ: هُوَ إجْمَاعُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ قَالَ ابْنُ طَاهِرٍ:
وَإِلَيْهِ ذَهَبَتْ الظَّاهِرِيَّةُ قَاطِبَةً. قَالَ الْأُدْفُوِيُّ: لَمْ
يَخْتَلِفْ النَّقَلَةُ فِي نِسْبَةِ الضَّرْبِ إلَى إبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ
الْمُتَقَدِّمِ الذِّكْرِ، وَهُوَ مِمَّنْ أَخْرَجَ لَهُ الْجَمَاعَةُ كُلُّهُمْ.
وَحَكَى الْمَاوَرْدِيُّ إبَاحَةَ الْعُودِ عَنْ بَعْضِ الشَّافِعِيَّةِ.
وَحَكَاهُ أَبُو الْفَضْلِ بْنُ طَاهِرٍ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ الشِّيرَازِيِّ
وَحَكَاهُ الْإِسْنَوِيُّ فِي الْمُهِمَّاتِ عَنْ الرُّويَانِيِّ
وَالْمَاوَرْدِيِّ وَرَوَاهُ ابْنُ النَّحْوِيِّ عَنْ الْأُسْتَاذِ أَبِي
مَنْصُورٍ وَحَكَاهُ ابْنُ الْمُلَقِّنِ فِي الْعُمْدَةِ عَنْ ابْنِ طَاهِرٍ
وَحَكَاهُ الْأُدْفُوِيُّ عَنْ الشَّيْخِ عِزِّ الدِّينِ بْنِ عَبْدِ السَّلَامِ
وَحَكَاهُ صَاحِبُ الْإِمْتَاعِ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ الْعَرَبِيِّ، وَجَزَمَ
بِالْإِبَاحَةِ الْأُدْفُوِيُّ هَؤُلَاءِ جَمِيعًا قَالُوا بِتَحْلِيلِ السَّمَاعِ
مَعَ آلَةٍ مِنْ الْآلَاتِ الْمَعْرُوفَةِ.
Telah diperselisihkan
tentang nyanyian dengan alat musik dan tanpa alat musik. Mayoritas ulama
mengharamkannya berdasarkan dalil yang telah lalu. Sedangkan penduduk Madinah,
dan golongan yang sepakat dengan mereka dari kalangan ulama Zhahiriyah, dan
segolongan sufi, memberikan keringanan mendengarkannya walau memakai kecapi dan
klarinet. Al-Ustadz Abu Manshur Al-Baghdadi Asy-Syafi'i menceritakan dalam
karyanya, As-Samaa', bahwasanya Abdullah bin Ja'far memandang nyanyian tidak
apa-apa. Beliau pernah menciptakan bait nyanyian untuk para tetangganya lalu
diperdengarkan dari mereka dengan diiringi dawainya (semacam gitar). Hal itu
terjadi pada masa Amirul Mu'minin Ali Radhiallahu 'Anhu. Al-Ustadz (Abu
Manshur) juga menceritakan yang seperti ini juga berasal dari Al-Qadhi Syuraih,
Sa'id bin Al-Musayyib, 'Atha bin Abi Rabah, Az-Zuhri, Asy-Sya'bi. Imam Al-Haramain
berkata dalam An-Nihayah, juga Ibnu Abi Ad-Dam: bahwa telah dinukil kepastian
dari para sejarawan, bahwa Abdullah bin Az-Zubeir Radhiallahu 'Anhu dahulu
memiliki tetangga para pemain kecapi. Abdullah bin Umar Radhiallahu 'Anhuma
pernah masuk ke rumahnya dan di sisi Abdullah bin Az-Zubeir terdapat 'Uud
(kecapi), lalu Ibnu Umar bertanya, "Apa ini wahai sahabat Nabi?" Ibnu
Umar menghampirinya dan terus memperhatikan benda itu, dan bertanya, "Apakah
ini timbangan negeri Syam?" Ibnu Az-Zubeir menjawab, "Ini untuk
menimbang akal."
Al-Hafizh[8] Abu Muhammad bin
Hazm meriwayatkan dalam risalahnya tentang As-Samaa' dengan sanadnya, dari Ibnu
Sirin, katanya: Ada seorang laki-laki datang ke Madinah bersama tetangganya,
mereka berhenti di tempatnya Abdullah bin Umar, pada mereka terdapat jariyah
yang sedang main rebana, lalu datang laki-laki yang menawarkannya dan dia
sedikitpun tidak tertarik kepadanya. Beliau (Ibnu Umar) berkata, "Pergilah
ke laki-laki yang bisa membeli dengan harga lebih dibanding seperti kepunyaanmu
dan juallah." Laki-laki itu bertanya, "Siapa dia?" Beliau
menjawab, "Abdullah bin Ja'far." Lalu mereka membawanya kepadanya
(Abdullah bin Ja'far), lalu salah satu jariyah itu diperintahkan, "Ambil-lah
'Uud (kecapi)." Lalu dia mengambilnya lalu bernyanyi. Maka laki-laki itu
menjualnya. Kemudian dia datang lagi ke Ibnu Umar sampai akhir kisah ini. Pengarang
kitab Al-'Iqdu, Al-'Allamah Abu Umar Al-Andalusi, meriwayatkan, "Bahwa
Abdullah bin Umar masuk ke rumah Abdullah bin Ja'far Radhiallahu 'Anhuma. Dia
dapati di rumahnya itu ada seorang jariyah yang dikamarnya terdapat 'Uud
(kecapi). Lalu Beliau bertanya kepada Ibnu Umar, "Apakah pendapatmu ini
boleh-boleh saja?" Beliau menjawab, "Tidak apa-apa." Imam Al-Mawardi
menceritakan bahwa dahulu Mu'awiyah dan Amr bin Al-'Ash Radhiallahu 'Anhuma
mendengarkan kecapi dari Ibnu Ja'far. Abul Faraj Al-Ashbahani meriwayatkan
bahwa dahulu Hassan bin Tsabit Rahiallahu 'Anhu mendengarkan dari 'Azzah Al-Maila
nyanyian dengan menggunakan Al-Mizhar (kecapi), dengan menggunakan syair yang
dibuatnya. Abul 'Abbas Al-Mubarrad juga meriwayatkan yang seperti itu. Al-Mizhar
menurut ahli bahasa adalah Al-'Uud (kecapi). Al-Udfuwi meriwayatkan bahwa
dahulu Umar bin Abdul Aziz Radhiallahu 'Anhu mendengarkan jariyahnya bermain
kecapi, sebelum beliau menjadi khalifah.
Ibnu As-Sam'ani
menukil dari Thawus tentang adanya rukhshah (keringanan) mendengarkan musik
(kecapi). Ibnu Qutaibah dan pengarang kitab Al-Imta' menukil hal itu juga dari
seorang Qadhi kota Madinah, Sa'd bin Ibrahim bin Abdurrahman, seorang generasi
dari tabi'in. Abu Ya'la Al-Khalili dalam Al-Irsyad juga menukil hal itu dari
Abdul Aziz bin Abu Salamah Al-Majisyun, Mufti kota Madinah. Ar-Ruyani
meriwayatkan dari Al-Qaffal, bahwa madzhab-nya Imam Malik bin Anas membolehkan
bernyanyi dengan menggunakan alat musik (Al-Ma'azif). Al-Ustadz Abu Manshur Al-Furani
menceritakan bahwa Imam Malik membolehkan kecapi (Al-'Uud). Abu Thalib Al-Makki
menceritakan dalam Qutul Qulub dari Syu'bah, bahwa dia (Syu'bah) mendengarkan tamburin
di rumah Al-Minhal bin Al-Amr seorang ahli hadits terkenal. Abu Al-Fadhl Ibnu
Thahir menceritakan dalam karyanya, As-Samaa', bahwa tidak ada perbedaan
pendapat bagi penduduk kota Madinah tentang kebolehan alat musik kecapi.[9]
Ibnu An-Nahwi mengatakan
dalam Al-'Umdah: berkata Ibnu Thahir: itu adalah ijma' penduduk kota Madinah
(kebolehan alat musik kecapi). Ibnu Thahir berkata: ini adalah madzhab golongan
Zhahiriyah seluruhnya. Al-Udfuwi meriwayatkan: bahwa tidak ada perbedaan
pendapat tentang nukilan penisbatan kepada Ibrahim bin Sa'ad bahwa Beliau
memukul rebana sebelum berdzikir. Imam Al-Mawardi menceritakan tentang
kebolehan kecapi menurut sebagian Syafi'iyah. Abul Fadhl bin Thahir menceritakan
dari Abu Ishaq Asy-Syirazi, dan Al-Isnawi menceritakan dalam Al-Muhimmat dari
Ar-Ruyani dan Al-Mawardi, dan Ibnu An-Nahwi meriwayatkan dari Al-Ustadz Abu
Manshur, dan Ibnul Mulaqqin menceritakan dalam Al-'Umdah dari Ibnu Thahir, dan
Al-Udfuwi menceritakan dari Imam 'Izzuddin bin Abdissalam, dan pengarang kitab
Al-Imta' meriwayatkan dari Abu Bakar bin Al-'Arabi, dan Al-Udfuwi memastikan
kebolehan (Al-'Uud) dari mereka semua. Mereka mengatakan, "Halalnya
mendengarkan permainan musik dengan alat-alat musik yang telah dikenal." (Nailul Authar,
8/113-114)
H. Kesimpulan Terhadap Pihak Yang Membolehkan
Dari uraian Imam Al-Ghazali,
Imam Asy-Syaukani, Syaikh Sayyid Sabiq, dan Syaikh Wahbah Az-Zuhaili di atas,
kita bisa mengambil kesimpulan sebagai berikut:
[1]Perselisihan pendapat
tentang musik di antara ulama besar kaum muslimin memang benar-benar terjadi.
Bahkan sudah terjadi sejak masa-masa sebelum lahirnya imam empat madzhab,
walaupun imam empat madzhab disebut telah sepakat atas keharamannya.
[2]Menurut keterangan di
atas, sebagaian sahabat Nabi ada yang membolehkan bahkan pernah mendengarkan
seperti Abdullah bin Umar dalam salah satu riwayatnya, Abdullah bin Az-Zubeir,
Abdullah bin Ja'far, Al-Mughirah bin Syu'bah, Hassan bin Tsabit, Amr bin Al-'Ash,
Mu'awiyah bin Abi Sufyan, dan selainnya.
[3]Menurut keterangan di
atas pula, sebagian kibarut tabi'in (tabi'in senior) juga ada
yang membolehkan seperti Umar bin Abdul Aziz dalam salah satu riwayat tentang
dirinya sebelum menjadi khalifah, Syuraih Al-Qadhi, Abdul Aziz bin Al-Maslamah,
Sa'id bin Al-Musayyib, Syu'bah, Ibrahim bin Sa'ad, Thawus, dan selainnya.
[4]Pembolehan ini juga
menjadi pendapat golongan Zhahiriyah (tekstualis) seluruhnya, Sufiyah
seperti Al-Junaid, Dzun Nuun Al-Mishri, As-Sari As-Suqthi, dan sebagian Malikiyah
seperti Imam Abu Bakar bin Al-'Arabi, Syafi'iyah seperti Imam Al-Ghazali,
Imam Al-Mawardi, dan Hanafiyah seperti Imam Ibnu 'Abidin. Ada riwayat
dari Imam Malik bahwa Beliau membolehkan kecapi sebagaimana disebutkan oleh Al-Qaffal.
[5]Pembolehan ini juga
menjadi pendapat penduduk Madinah, bahkan diklaim oleh Ibnu Thahir bahwa
penduduk Madinah telah ijma' atas kebolehannya. Namun, klaim ini
dikritik keras Al-Adzra'i dan nilainya sebagai kedustaan dari Ibnu Thahir,
sebagaimana dikutip Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Az-Zawajir.
[6]Data-data di atas
bukan berarti tanpa sorotan, pihak yang mengharamkan meragukan keshahihan
sebagian riwayat tentang para sahabat, tabi'in, dan imam kaum muslimin
yang membolehkan. Di antara yang meragukan adalah Imam Ibnul Qayyim, Imam Al-Azdra'i,
dan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani.
[7]Sebagian ulama yang
membolehkan kukuh mengatakan kebalikannya, bahwa tidak ada ayat dan hadits shahih
dan sharih sedikitpun tentang pengharaman musik, seperti yang dinyatakan
oleh Imam Ibnu Hazm, Imam Ibnul 'Arabi, dan Imam Al-Fakihani.
Demikianlah
pembahasan tentang Halal Dan Haram Tentang Musik. Semoga menjadi salah
satu sumbangsih pemikiran yang kecil untuk menambah kekayaan Khazanah Islam
yang sangat luas. Inilah yang sejauh kami ketahui, semoga Allah Ta’ala memaafkan apa-apa yang tidak kami
ketahui. Semoga pembaca memberikan maklum dan maaf atas apa-apa yang menjadi
kesalahan kami. Semoga Allah Ta’ala
menjadikannya sebagai amal shalih yang bermanfaat dan memiliki nilai di sisi-Nya.
Aamiin. Wallahu A'lam.
======================
Catatan :
[1]Lima koreksi Imam
Ibnul Qayyim atas Imam Ibnu Hazm tersebut adalah:
[a]Bahwasanya Imam
Bukhari telah berjumpa dengan Hisyam bin Ammar, dan mendengarkan hadits ini
darinya. Jika Imam Bukhari mengucapkan, "Berkata Hisyam (Qaala
Hisyam)" itu sama halnya dengan ucapannya, "Dari Hisyam ('An
Hisyam)".
[b]Kalaupun Imam Bukhari
tidak mendengarkan langsung dari Hisyam maka memang tidak boleh memastikan
darinya, tetapi yang benar adalah bahwa Beliau mendengarkan hadits ini darinya.
Hal ini ditunjukkan begitu banyaknya riwayat yang berasal darinya (Hisyam), dan
dia adalah seorang Syeikh (guru) yang begitu tenar. Sedangkan Imam
Bukhari merupakan hamba Allah yang sangat jauh dari sikap tadlis (suka
menggelapkan sanad dan matan hadits).
[c]Imam Bukhari
memasukan hadits ini dalam kitab Shahih-nya, dan ini sebagai hujjah
bahwa seandainya tidak shahih maka Beliau tidak akan mencantumkan di
dalamnya.
[d]Hadits ini oleh Imam
Bukhari diriwayatkan secara mu'allaq namun dengan bentuk kata jazm
(pasti dan tegas yaitu qaala - telah berkata) bukan dengan bentuk kata tamridh
(adanya cacat). Biasanya Imam Bukhari jika belum memutuskan sebuah hadits shahih
atau tidak atau menurutnya hadits itu tidak sesuai standar yang dia tetapkan,
maka dia akan menggunakan kata: yurwa 'an Rasulillah (diriwayatkan dari
Rasulullah), yudzkaru 'anhu (disebutkan darinya), dan semisalnya. Ada
pun jika Beliau mengatakan, "Qaala Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam" maka Beliau telah memastikan bahwa hadits tersebut benar dari
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
[e]Seandainya alasan-alasan
yang kami (Ibnul Qayyim) sampaikan di atas sama sekali tidak berpengaruh, maka
cukuplah kami katakan bahawa hadits ini shahih dan bersabung sanadnya
karena dikuatkan oleh berbagai riwayat lainnya. (Ighatsatul Lahfan,
1/260)
[2]Sebagian ulama
mendhaifkan, lantaran kedhaifan yang parah dari salah satu perawinya yaitu 'Isa
bin Maimun, mereka seperti Imam Ibnul Jauzi yang berkata: dhaif jiddan -
sangat lemah. (Al-'Ilal Mutanahiyah, 2/627, No. 1034) Al-Hafizh Ibnu
Hajar berkata: sanaduhu dhaif - sanadnya lemah. (Fathul Bari,
9/226) Syaikh Al-Albani juga mendhaifkannya. (Dhaiful Jami' No. 966)
Ulama lain mengatakan
hadits ini hasan, bahkan shahih karena memiliki penguat dari
riwayat lainnya. Imam At-Tirmidzi menyebutnya hasan gharib. (Sunan
At-Tirmidzi No. 1089) Imam As-Sakhawi mengatakan, "Hadits ini
hasan, maka riwayat dari At-Tirmidzi kalau pun dhaif, dia memiliki penguat
seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan lainnya." (Al-Maqashid
Al-Hasanah, Hal. 125)
Imam Al-'Ajluni
menjelaskan dengan panjang. Hadits ini memiliki berbagai syawahid
(penguat), yang membuatnya menjadi hasan lighairihi, bahkan shahih,
sebagaimana penjelasan berikut. Di antara berbagai riwayat yang menguatkannya
adalah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dan Ibnu Mani' dari hadits Anas
dan 'Aisyah sebagaimana tertera dalam kitab Al-La-aaliy, Al-Maqashid,
dan lainnya. Juga yang tertera dalam Musnad Ahmad, dari Ibnu Az-Zubeir
bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, "Umumkanlah
pernikahan", As-Sakhawi menyebutkan dengan lafaz, "Sembunyikanlah
khitbah/lamaran", ini menjadi dasar pihak yang mengatakan batalnya
nikah secara sembunyi-sembunyi. Dan, di antara penguatnya juga apa yang
diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim, keduanya menshahihkannya, juga Ath-Thabarani
dan Abu Nu'aim dari Ibnu Az-Zubeir, juga riwayat Ath-Thabarani dari Hibar bin
Al-Aswad, "Siarkanlah nikah dan umumkanlah", juga riwayat Ad-Dailami
dari Ummu Salamah dengan lafaz, "Tampakkanlah nikah dan sembunyikanlah
khitbah." Berkata An-Najm, bahwa termasuk penguatnya adalah apa yang
diriwayatkan oleh At-Tirmidzi -- dan dia menghasankannya, An Nasa'i, Ibnu
Majah, dan Al-Hakim -- dan dia menshahihkannya, yaitu riwayat dari Muhammad bin
Hathib dengan lafaz, "Pemisah antara halal dan haram dalam pernikahan
adalah memukul rebana dan suara." (Kasyful Khafa, 1/145)
[3]Sementara Syaikh Al-Albani
menshahihkan hadits ini. (Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 4924)
Begitu pula Syaikh Abdul Muhsin Al-'Abbad Al-Badr, menurutnya semua perawi
hadits ini (Ahmad bin 'Ubaidillah, Al-Walid bin Muslim, Sa'id bin Abdul 'Aziz,
Sulaiman bin Musa, dan Nafi') antara tsiqah (terpercaya) dan shaduq
(jujur). Dia tidak menemukan di sisi mana munkar-nya sanad hadits
ini. (Syarh Sunan Abi Daud, 560/15)
[4]Imam Al-Ghazali, dia
adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Ath-Thusi.
Dijuluki Hujjatul Islam (Hujjahnya Islam), seorang filsuf, teolog, ahli tashawuf,
ahli manthiq (ilmu logika), ahli fiqih, ushul fiqih, zahid
(orang yang zuhud), wira'i (orang yang wara'), 'abid
(ahli ibadah), ahli debat, dan sebagainya. Lahir 450 H / 1058 M di Thusi,
daerah Khurasan, wafat di situ juga tahun 505 H / 1111 M. Nama "Al-Ghazali"
di ambil dari Al-Ghazalah, nama desa kelahirannya. Mengembara menuntut ilmu ke
berbagai negeri, ke Naisabur, lalu Baghdad, lalu Hijaz, lalu Syam, lalu Mesir,
lalu kembali ke kampung halamannya. Sepanjang hayatnya memiliki karya sekitar
200 judul, seperti Ihya 'Ulumuddin, Al-Basith, Al-Mustashfa,
Al-Munqidz Minadh Dhalal, Al-Farq Bainash Shalih wa Ghairush Shalih,
Tahafut Al-Falasifah, Al-Iqtishad fil I'tiqad, Al-Ma'arif Al-'Aqliyah,
Jawahirul Qur'an, Fadhaa-ih Al-Bathiniyah, dan sebagainya. Di
antara gurunya adalah Imam Abul Ma'ali Al-Juwaini, yang biasa disebut Imam Al-Haramain,
yang memujinya, "Al Ghazali adalah luatan ilmu yang sangat luas (Bahrun
Mughriq)." Beliau salah satu ulama yang paling berpengaruh di dunia
Islam, bahkan dunia Barat. Karya-karyanya tentang filsafat dan kepiawaiannya
meruntuhkan dominasi filsafat Yunani di zamannya telah dikaji oleh para sarjana
di Barat, dan mereka mengenalnya dengan nama Al-Gazell.
[5]Beliau adalah Syaikh
Sayyid Sabiq Rahimahullah, ulama Mesir alumnus Al-Azhar. Wafat tahun
1420 H. Hidupnya dihabiskan untuk ilmu, tarbiyah, dan jihad
bersama jama'ahnya, Al-Ikhwan Al-Muslimun. Banyak karyanya di antaranya Fiqhus
Sunnah, Islamuna, Al-'Aqaid Al-Islamiyah, Mashadir Al-Quwwah
fil Islam, dan lainnya. Ada pun Fiqhus Sunnah adalah kitab fiqih
produk abad 20 yang paling banyak penyebarannya di dunia Islam. Hampir-hampir
dikatakan tidak ada lembaga pendidikan Islam dan masjid, melainkan pasti
memiliki kitab Fiqhus Sunnah. Oleh karena itu, Beliau mendapatkan
penghargaan King Faishal Award pada tahun 1993 M dari kerajaan Arab
Saudi, bersama salah satu murid terbaiknya Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi Hafizhahullah.
Kitab Fiqhus Sunnah disusun atas permintaan Syaikhnya, yakni Al-Ustadz
Hasan Al-Banna Rahimahullah sebagai pedoman fiqih bagi jama'ah Al-Ikhwan.
Lalu kitab tersebut ditakhrij haditsnya oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Rahimahullah dan diberikan kata pengantar oleh gurunya (Syaikh Al-Banna)
tersebut.
[6]Beliau adalah Syaikh
Wahbah bin Mushthafa Az-Zuhaili Hafizhahullah. Lahir tahun 1932 M, di
pinggir kota Damaskus, Siria. Orang tuanya adalah penghafal Al-Qur'an dan
sangat dekat dengan As-Sunnah, selain itu keluarganya adalah petani dan
pedagang. Beliau merupakan alumnus Al-Azhar, pernah juga belajar di Universitas
Ainusy Syams, dan Universitas Damaskus, fakultas Syariah. Kompentensinya adalah
bahasa Arab, Ushul Fiqih, dan Fiqih, dan mendapat gelar Doktor
tahun 1963 M. Dia berguru ilmu usul fiqih, fiqih, tafsir, dan
hadits, kepada banyak ulama baik di Syam mau pun Mesir. Murid-muridnya pun
sangat banyak dan telah menjadi ulama besar seperti Syaikh Muhamamd Az-Zuhaili
dan Syaikh Muhamamd Na'im Yasin, dan lainnya. Karya-karyanya di antaranya: Al-Fiqhul
Islami wa Adillatuhu, Aatsarul Harb fi Fiqhil Islami, Takhrij wa
Tahqiq Ahaadits, Al-Wasith fi Ushulil Fiqhil Islami, dan lainnya.
[7]Dia adalah Muhammad
bin Ali bin Muhammad bin Abdillah Asy Syaukani Al-Yamani (1173-1250 H / 1759-1834
M). Seorang ahli fiqih, ulama besar, mujtahid, luas ilmunya, baik
tafsir, hadits, ushul fiqih, fiqih, dan banyak karyanya seperti Nailul
Authar, Irsyadul Fuhul, Sailul Jarar, Fathul Qadir, Tuhfah
Adz-Dzakirin, Syarh Ash-Shudur, Al-Qaul Al-Mufid fi Adillatil
Ijtihad wat Taqlid, dan lainnya. Beliau berguru kepada banyak ulama di
negerinya, Yaman, mengkaji kitab mereka dan menyimak hadits dari mereka. Banyak
santri berguru kepadanya dari berbagai penjuru dunia. Kesibukannya adalah
menulis, berfatwa, berda'wah pada gerakan pembaharuan dan ishlah.
Menolak taklid buta kepada siapa pun, dan ketika syarat-syarat menjadi mujtahid
sudah terpenuhi sempurna, maka dia telah mencapai derajat itu, dan ulama pun
mengakuinya.
[8]Imam Asy-Syaukani
menyebut Imam Ibnu Hazm sebagai Al-Hafizh, sebuah gelar kehormatan bagi
ulama yang menguasai hadits dan ilmu-ilmunya. Imam Ibnu Hajar Al-'Asqalani
dalam Fathul Bari-nya juga menyebut Imam Ibnu Hazm dengan sebutan Al-Hafizh.
Maka, ini menunjukkan kemampuannya dalam bidang hadits, dan pengakuan ulama
atas Imam Ibnu Hazm. Ini sekaligus koreksi atas pihak yang meremehkan kemampuan
Imam Ibnu Hazm dalam bidang ilmu hadits. Gelar Al-Hafizh ini diberikan
kepada ahli hadits yang sudah mampu menghapal 100.000 hadits, dan juga mampu
melakukan jarh wa ta'dil, mengetahui perawi yang salah, melakukan tash-hih
(penshahihan) dan tadh'if (pendhaifan) terhadap hadits, menguasai ilmu sanad
dan matan sekaligus. Para ulama yang sudah sampai derajat ini adalah
Imam Ibnu Hajar Al-'Asqalani, Imam Zainuddin Al-'Iraqi, Imam Ibnu Daqiq Al-'Id,
Imam Al-Mundziri, dan sebagainya.
[9]Pernyataan Imam Ibnu
Thahir Rahimahullah telah dikritik keras oleh Imam Ibnu Hajar Al-Haitami
Al-Makki Rahimahullah dalam kitab Az-Zawajir, katanya, "Ada
pun cerita dari Ibnu Thahir, Beliau mengambil dari penyusun At-Tanbih, bahwa
Beliau membolehkan mendengarkan kecapi, dan dia mendengarkannya, dan itu
masyhur darinya. Beliau adalah salah satu ulama pada masanya dan itu tidak
diingkari. Ada pun penghalalannya dan itu kesepakatan penduduk Madinah, maka
pernyataan Ibnu Thahir ini telah dibantah oleh mereka. Mereka mengatakan dia
adalah petualang, pembohong, kotor dan najis aqidahnya. Oleh karena itu Al-Adzra'i
mengomentari pernyataan Ibnu Thahir: Ini adalah spekulasinya Ibnu Thahir,
sesungguhnya yang memainkan musik di Madinah adalah orang-orang gila dan pelaku
kebatilan. Penyandaran Ibnu Thahir bahwa hal itu dikatakan oleh penyusun kitab
At-Tanbih -- seperti yang dikatakannya dalam kitab As-Sama' -- adalah
penyandaran yang batil secara pasti." (Imam Ibnu Hajar Al-Haitami, Az-Zawajir
'an Iqtirafil Kabaa-ir, 2/339)
======================
Maraji' (Referensi):
- Al-Qur'an Al-Karim
Kitab-Kitab Tafsir:
- Jami'ul Bayan fi Ta'wilil Qur'an, Imam
Abu Ja'far bin Jarir Ath-Thabari
- Al-Jami' Li Ahkamil Qur'an, Imam Abu Abdillah
Al-Qurthubi
- Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim, Imam Ibnu
Abi Hatim
- Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim, Imam Abu
Fida bin Katsir
- Mafatihul Ghaib, Imam Abu Abdillah
Fakhruddin Ar-Razi
- Ad-Durul Mantsur, Imam Jalaluddin As-Suyuthi
- Fathul Qadir, Imam Asy-Syaukani
- Al-Muharrar Al-Wajiz, Imam Abu Muhammad
bin 'Athiyah Al-Andalusi
- Tafsir Al-Qur'an, Imam Abu Muzhaffar As-Sam'ani
At-Tamimi
- At-Tashil Li 'Ulumit Tanzil, Imam Abul
Qasim bin Juzi Al-Kalbi
- Ahkamul Qur'an, Imam Abu Bakar bin Al-'Arabi
Kitab-Kitab Hadits:
- Jami'ush Shahih, Imam Al-Bukhari
- Jami'ush Shahih, Imam Muslim
- Sunan At-Tirmidzi, Imam At-Tirmdzi
- Sunan Abi Daud, Imam Abu Daud
- Sunan Ibni Majah, Imam Ibnu Majah
- Sunan Ad-Darimi, Imam Ad-Darimi
- Musnad Ahmad, Imam Ahmad
- Musnad Abi Ya'la, Imam Abu Ya'la
- As-Sunan Al-Kubra, Imam An-Nasa'i
- As-Sunan Al-Kubra, Imam Al-Baihaqi
- Syu'abul Iman, Imam Al-Baihaqi
- Al-Adab, Imam Al-Baihaqi
- Al-Mu'jam Al-Kabir, Imam Ath-Thabarani
- Musnad Al-Bazzar, Imam Al-Bazzar
- Kanzul 'Ummal, Imam Alauddin Al-Muttaqi
Al-Hindi
- Al-Ahadits Al-Mukhtarah, Imam Dhiya'uddin
Al-Maqdisi
- Musnad Abi Daud Ath-Thayalisi, Imam Abu
Daud Ath-Thayalisi
- Al-Mushannaf, Imam Ibnu Abi Syaibah
- Musnad Ar-Ruyani, Imam Ar-Ruyani
- Al-Jami' Al-Ushul, Imam Jalaluddin As-Suyuthi
Kitab-Kitab Syarah
Hadits:
- Fathul Bari, Imam Ibnu Hajar Al-'Asqalani
- Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, Imam An-Nawawi
- Kasyful Musykil, Imam Abul Faraj bin Al-Jauzi
- Nailul Authar, Imam Asy-Syaukani
- At-Taisir bi Syarhi Al-Jami' Ash-Shaghir,
Imam Al-Munawi
- Faidhul Qadir, Imam Al-Munawi
- Tuhfah Al-Ahwadzi, Imam Abul 'Ala Al-Mubarkafuri
- 'Aunul Ma'bud, Imam Abu Thayyib Syamsul
'Azhim Abadi
- Mirqah Al-Mafatih, Imam 'Ali Al-Qari
Kitab-Kitab Takhrij
dan Tahqiq Hadits:
- Al-Badrul Munir, Imam Ibnul Mulaqqin
- Tuhfatul Muhtaj Ila Adillatil Minhaj,
Imam Ibnul Mulaqqin
- Mukhtashar As-Sunan, Imam Al-Mundziri
- Al-Maqashid Al-Hasanah, Imam Abul Khair
Syamsuddin As-Sakhawi
- Al-'Ilal Mutanahiyah, Imam Abul Faraj
bin Al-Jauzi
- Kasyful Khafa, Imam Al-'Ajluni
- Ta'liq Musnad Ahmad, Syaikh Syuaib Al-Arnauth
- Shahih Kunuz As-Sunnah An-Nabawiyah,
Syaikh Baari 'Irfan Taufiq
- Silsilah Ahadits Ash-Shahihah, Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al-Albani
- Ghayatul Maram, Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani
- Miyskah Al-Mashabih, Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani
- Shahihul Jami' Ash-Shaghir, Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al-Albani
- Shahih wa Dhaif Sunan At-Tirmidzi,
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Kitab-Kitab Fiqih dan
Fatwa:
Madzhab Hanafi
- Tabyinul Haqaiq, Imam Az-Zaila-i Al-Hanafi
- Bahrur Raa-iq, Imam Ibnu Nujaim Al-Hanafi
- Bada'i Ash-Shana'i, Imam Al-Kisani Al-Hanafi
- Al-Muhith Al-Burhani, Imam Abul Ma'ali
Al-Bukhari Al-Hanafi
- Tuhfatul Muluk, Imam Abu Muhammad Abdul
Qadir Al-Hanafi
Madzhab Maliki
- Hasyiah Ad-Dasuqi 'Alasy Syarhil Kabir,
Imam Ad-Dasuqi Al-Maliki
- Al-Muqaddimat, Imam Ibnu Rusyd Al-Maliki
- Ar-Risalah, Imam Abu Muhammad Al-Qairuwani
Al-Maliki
Madzhab Syafi’i
- Al-Umm, Imam Asy Syafi'i
- Al-Lubab fi Fiqhisy Syafi'i, Imam Abul
Hasan Al-Muhamili Asy Syafi'i
- Nihayatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj,
Imam Syihabuddin Ar-Ramli Asy-Syafi'i
- Hasyiah Asy-Syubramalisi, Imam
Asy-Syubramalisi Asy-Syafi'i
- Raudhatuth Thalibin, Imam An-Nawawi Asy-Syafi'i
- Minhajuth Thalibin, Imam An-Nawawi Asy-Syafi'i
- Al-Hawi Al-Kabir, Imam Abul Hasan Al-Mawardi
Asy-Syafi'i
- Al-Wasith fil Madzhab, Imam Al-Ghazali Asy-Syafi'i
- Nihayatul Mathlab fi Dirayatil Madzhab,
Imam Al-Haramain Al-Juwaini
- Al-Asybah wan Nazha-ir, Imam Jalaluddin
As-Suyuthi
Madzhab Hambali
- Al-Mughni, Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi
Al-Hambali
- Majmu' Al-Fatawa, Imam Ibnu Taimiyah Al-Hambali
- Syarh Adab Al-Musti, Syaikh Ibrahim bin
Muhammad Alu Asy-Syaikh Al-Hambali
Madzhab Zhahiri
- Al-Muhalla, Imam Abu Muhammad bin Hazm
Azh-Zhahiri
Fiqih Umum
- Fiqhus Sunnah, Syaikh Sayyid Sabiq
- Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah,
Dept. Waqaf Kuwait
- Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Syaikh
Wahbah Az-Zuhaili
- Jilbab Al-Mar'ah Al-Muslimah, Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al-Albani
- Tahrim Alatith Tharb, Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani
Kitab-Kitab Sejarah
dan Biografi:
- Siyar A'lamin Nubala, Imam Syamsuddin
Adz-Dzahabi
- Mizanul I'tidal, Imam Syamsuddin Adz-Dzahabi
Kitab Kamus dan
Bahasa:
- Tahdzibul Lughah, Abu Manshur Al-Harawi
Al-Azhari
- Mafatih Al-'Ulum, Abu Abdillah Al-Balkhi
Al-Khawarizmi
- Nihayah fi Gharibil Hadits, Imam Ibnul
Atsir
- Gharibul Hadits, Imam Abu 'Ubaid
Kitab-Kitab Umum:
- Ighasatul Lahfan fi Mashayyidisy Syaithan,
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
- Az-Zawajir 'an Iqtirafil Kabaa-ir, Imam
Ibnu Hajar Al-Haitami Al-Makki
- Ihya 'Ulumuddin, Imam Abu Hamid Al-Ghazali
- Hilyatul Auliya, Imam Abu Nu'aim Al-Ashbahani
- Majmu'ah Ar-Rasail, Imam Hasan Al-Banna
- Adab Al-Hiwar wal Qawaid Al-Ikhtilaf,
Syaikh Dr. Umar bin Abdullah Kamil
No comments:
Post a Comment